Mengingat Pembantaian Westerling, Sejarah Kelam Bagi Rakyat Sulawesi Selatan.

 Mengingat Pembantaian Westerling, Sejarah Kelam Bagi Rakyat Sulawesi Selatan.


Sosok Raymond Pierre Paul Westerling seorang perwira Belanda berdarah Turki. Mereka tiba di Makassar pada 5 Desember 1946.

Penyerangan oleh pasukan Khusus Depot Speciale Troepen (DST) di mulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember 1946. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu.

Raymond Pierre Paul Westerling (Sumber : inews.sulses.id)

Pasukan pertama berkekuatan 58 orang di pimpin oleh Serma H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua di pimpin oleh Serma Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang.

Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard di bantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu di kepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 Wita di mulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat di giring ke desa Batua.

Raja & Ratu Belanda (Sumber : Okezone.news, 2022)

Pada fase ini, sebanyak 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung di tembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 Wita, seluruh rakyat dari desa-desa yang di geledah telah terkumpul di desa Batua.

Tidak di ketahui berapa jumlahnya secara tepat. Versi Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak di pisahkan dari pria.

Fase kedua di mulai, menurut Belanda, yaitu mencari “kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh”. Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang di terjemahkan ke bahasa Bugis.

Dia memiliki daftar nama “pemberontak” yang telah di susun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang di tuduh langsung dieksekusi di tempat.

Metode Westerling ini di kenal dengan nama “Standrecht” yaitu pengadilan dan eksekusi di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah di hukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan pada masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “pemberontak, teroris dan perampok”.

Setelah itu rakyat di suruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 Wita telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah “sweeping ala Westerling”. Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus.

Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. Sebanyak 61 orang di tembak mati.

Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga di bakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember 1946, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, sebanyak 23 orang rakyat di tembak mati.

Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malaka yang di buru oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat di temukan.

Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember 1946, Desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini sebanyak 33 orang di eksekusi mati.

Setelah daerah sekitar Makassar di bersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas di bunuh.

Aksi tahap ketiga mulai di lancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan di lakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember 1946 serta 3 Januari 1947.

Di sini juga di lakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pada Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang di lakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Menurut pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan hanya sekitar 3.000 rakyat Sulawesi Selatan tewas di bantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling.

Untuk menghindari pengadilan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang di lakukan oleh pasukannya “hanya” 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda, karena sebenarnya aksi terornya yang di namakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook.

Jadi yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat di masukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang hingga sekarangpun dapat di majukan ke pengadilan internasional.

Karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kedaluwarsanya. Perlu di upayakan, peristiwa pembantaian ini di majukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya di Jakarta, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.

“Atas nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare,” kata Tjeerd de Zwaan.

Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu Euro atau Rp 301 juta.

Namun, apapun kilah Belanda yang mengatakan jumlah korban tewas hanya tiga hingga empat ribuan jiwa, tetapi bagi kami rakyat Sulawesi Selatan meninggalkan luka dan kesedihan tiada tara sampai saat ini. (Bone.go.id).

0 Post a Comment:

Posting Komentar