Mengubah Paradigma Wisata Suku Baduy Menjadi Saba Budaya Baduy

 

MENGUBAH PARADIGMA WISATA SUKU BADUY

MENJADI  SABA BUDAYA BADUY

 

Oleh :  Achmad Hambali

Email : hambaliachmad37@gmail.com

 

Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami wilayah jauh dari pusat keramaian kota di Provinsi Banten, tepatnya di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Daerah tempat tinggal suku Baduy dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam dan budaya. Di sana, wisatawan bisa belajar cara hidup masyarakat Baduy yang asri dan tradisional.



Suku Baduy sampai saat ini masih sangat menjunjung budaya dan adat istiadat. Selain itu, suku Baduy punya prinsip untuk menjalani hidup yang selalu berdampingan dengan alam. Karenanya, kehidupan suku Baduy tak banyak terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan modernitas.

Seorang dari suku Baduy bisa dikenali dari penampilannya yang khas. Suku ini tampil mengenakan pakaian adat berupa pakaian kain sederhana dengan ikat kepala. Selain itu, suku Baduy juga diketahui tak pernah menggunakan alas kaki sama sekali, dan tidak mengunakan alat transportasi. Sejauh apapun jarak yang ditempuh, suku Baduy akan menempuh perjalanan dengan jalan kaki.

Secara garis besar suku Baduy dibedakan menjadi dua macam, yaitu suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar. Suku Baduy Dalam merupakan sebutan untuk masyarakat Baduy yang masih sangat berpegang teguh pada prinsip adat istiadat. Sesuai dengan namanya, suku Baduy Dalam juga mendiami tanah adat bagian dalam, yang cenderung lebih terisolasi. Sehingga, wisatawan tidak bisa menjangkau kehidupan masyarakat suku Baduy dalam.

Suku Baduy Dalam tidak mendapat intervensi sama sekali baik dari pemerintah maupun pihak-pihak lain dalam menjalankan adat istiadat ataupun pola hidup keseharian mereka. Mereka betul-betul bergantung pada alam dan tetap menjaga nilai serta norma dari leluhurnya hingga saat sekarang ini. Meskipun begitu, masyarakat Baduy Dalam tetap mengakui bahwasanya mereka tinggal di tanah Indonesia dan tahu informasi mengenai Indonesia melalui kabar yang disampaikan oleh orang-orang tertinggi di daerah Suku Baduy Dalam misal kepala suku dan ketua adat.

Masyarakat Baduy Dalam masih menjalani hidup dengan sejumlah pantangan yang ketat. Pantangan tersebut di antaranya, terkait dengan larangan untuk tidak menggunakan teknologi modern, termasuk sumber daya listrik. Mengenal suku Baduy Dalam juga bisa dilihat dari penampilan. Suku Baduy Dalam, mengenakan pakaian serba putih, dengan ikat kepala yang kadang juga bisa berwarna hitam.

Sedangkan Suku Baduy Luar tinggal di bagian terluar dari kawasan tanah adat. Kawasan tinggal masyarakat Baduy Luar inilah yang kemudian menjadi tujuan wisata. Mengenal suku Baduy Luar, bisa dilihat dari penampilannya. Tak jauh beda dengan Baduy Dalam, suku Baduy Luar juga memakai pakaian adat berupa kain sederhana dan ikat kepala. Namun, warna pakaian suku Baduy Luar didominasi warna hitam dengan ikat kepala biru. Sementara itu, suku Baduy Luar juga relatif sudah mengenal teknologi, seperti berbagai peralatan elektronik. Namun di kesehariannya, masyarakat Baduy Luar tetap berpegang pada adat istiadat berikut berbagai pantangannya.

Terbukti sampai saat ini, masyarakat Baduy Luar tidak menggunakan alas kaki, tidak bepergian ke luar kawasan Baduy lebih dari 7 hari, dan tetap memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan.

 

Nilai dan Norma Leluhur Suku Baduy yang Perlu dilestarikan

Suku Baduy masih berpegang teguh nilai dan norma leluhur mereka yang tetap menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidupnya. Perkembangan teknologi yang demikian pesatnya tidak lantas membuat masyarakat adat Suku Baduy kehilangan identitasnya. Mereka tetap memegang teguh warisan leluhurnya di kaki Gunung Kendeng. Tidak berlebihan bila budayawan Banten, Uten Sutendy menilai Suku Baduy sebagai cengcelengan (tabungan) Tuhan yang masih tersisa di abad modern ini.

Mengenai sistem adat khususnya kepercayaan yang dianut, Masyarakat Suku Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Kepercayaan Sunda Wiwitan menganut pada Nabi Adam atau mereka menyebutnya Nabi Adam Tunggal. Masyarakat Baduy percaya bahwa Nabi Adam Tunggal merupakan orang pertama yang turun ke bumi di mana letak jatuhnya yakni tepat di daerah Baduy. Kepercayaan ini juga menganggap arah selatan sebagai arah yang suci. Masyarakat Baduy percaya bahwa semakin ke selatan suatu tempat maka semakin sakral pula tempat itu.

Menurut Pak Ijom (salah satu petinggi di masyarakat Baduy) “dalam kepercayaan Sunda Wiwitan kita diajarkan untuk hidup benar dan harus bisa ngaji diri atau dalam hal ini instropeksi diri”. Hidup benar di sini menganjurkan masyarakat Baduy untuk tidak rakus, sombong, tidak iri dengan sesama, dan tidak berbuat jahil/jahat.

Menariknya lagi adalah pak Ijom menuturkan bahwa akan terasa percuma jika kita mengaji kitab setiap hari namun tidak bisa mengaji diri atas kesalahan/keburukan yang telah kita perbuat. Hal ini mengingatkan pada perilaku masyarakat di kota. Di mana mereka mengaji kitab agamanya setiap hari namun masih saja berbuat jahat, menyalahkan orang lain, timbul iri/dengki, sombong, rakus bahkan membunuh, suka mengolok-olokan sesama atau umat agama lain sehingga memunculkan konflik/perpecahan. Padahal isi dalam kitab atau agama yang dipercayai tidak mengajarkan hal demikian. Semua agama menganjurkan umatnya untuk tidak hanya berbuat baik atau saleh kepada Tuhan, melainkan juga harus berbuat baik kepada sesama ciptaanNya baik sesama manusia, binatang, tumbuhan maupun alam, dan tentunya seisi dunia ini.

Jadi alangkah baiknya jika kita tidak hanya membaca kitab suci agama setiap hari saja, melainkan juga bisa mengimplementasikan ajaran-ajaran yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menimbulkan keseimbangan dalam ketaatan beragama dan memunculkan perilaku hidup benar seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Baduy.

 

Alasan Suku Baduy Tak Pantas dijadikan Tontonan

Akhir-akhir ini lembaga suku baduy meminta pemerintah untuk menutup kawasanya menjadi lokasi tujuan wisata. Pasalnya, sejak kawasannya itu dibuka untuk wisatawan justru banyak menimbulkan masalah tersendiri bagi warga Baduy. Masalah tersebut di antaranya terkait dengan banyaknya sampah, aturan adat yang tidak diindahkan, hingga warga Baduy yang risih saat menjadi tontonan wisatawan.

Hal yang dikhawatirkan dengan masuknya wisatawan ke kawasan Suku Baduy selain merusak kelestarian alam yang selama ini dijaga, juga akan merusak aturan adat karena tidak sedikit wisatawan yang tidak mengindahkan aturan adat setempat. Oleh karena itu biarlah masyarakat Suku Baduy menjadi aset yang perlu dilestarikan, karena Suku Baduy merupakan sebagaian kecil suku asli Indonesia yang masih terjaga keaslianya.

Pemerintah maupun tokoh adat Suku Baduy juga telah menyusun aturan jika hendak berkunjung ke kawasan Suku Baduy diantaranya adalah menjaga kelestarian alam, dengan tak membuang sampah sembarangan, menggunakan barang dalam kemasan sekali pakai, serta menggunakan pasta gigi atau sabun di sungai. Namun aturan hanyalah menjadi sebuah tulisan yang tertulis disecarik kertas, kenyataannya tidak seperti yang kita harapkan. Semua itu butuh kesadaran dari kita untuk menghargai dan menghormati tradisi orang lain.

Suku Baduy mempunyai konsep menjauh dari hal yang berbau duniawi, sebaiknya datang dengan pakaian tertutup serta melupakan gadget yang dibawa, seperti gawai atau kamerea. Suku Baduy Dalam juga dikenal tidak suka dipotret.

Menjadikan Suku Baduy menjadi objek wisata tentunya terdengar risih ditelinga masyarakat Suku Baduy. Pemerintah Kabupaten Lebak akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk meminta mengganti istilah wisata Suku Baduy menjadi Saba Budaya Baduy. Istilah Saba Budaya berasal dari bahasa sunda yang berarti silaturahmi budaya dan dianggap lebih baik dibanding wisata. Penyebuta destinasi wisata dikhawatirkan akan mengubah lingkungan dan adat Baduy demi menarik wisatawan.

 Perubahan istilah ini yang sebenarnya diinginkan oleh Suku Baduy, bukan penghapusan wilayah Baduy dari destinasi kunjungan. Adanya isu masyarakat Baduy tidak mau menerima kunjungan orang luar lagi dikatakannya telah dibantah oleh lembaga adat suku Baduy. Perubahan istilah ini dikatakannya menjadi keputusan lembaga adat yang harus diikuti oleh setiap pihak. Sehingga masyarakat luar masih bisa berkunjung ke Baduy, namun penyebutannya bukan aktivitas wisata karena masyarakat Suku Baduy bukan sebuah tontonan melainkan sebuah suku yang bisa kita jadikan sebagai referensi untuk menjalani hidup ini menjadi lebih baik, banyak nilai-nilai dan norma leluhur Suku Baduy bisa dijadikan tuntunan bagi kita yang menikmati hidup di era modernisasi seperti saat ini.

0 Post a Comment:

Posting Komentar