Biografi I Gusti Ngurah Rai

 Biografi I Gusti Ngurah Rai


I Gusti Ngurah Rai lahir di Badung, Bali, 30 Januari 1917. Ia merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya, I Gusti Ngurah Patjung, adalah seorang camat Petang. Sejak kecil, I Gusti Ngurah Rai tertarik dengan dunia militer. Karena itu, setelah menyelesaikan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Denpasar dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Malang, ia kemudian bergabung dengan sekolah kader militer, Prayodha Bali, Gianyar yang memang diisi oleh para pemuda dari kalangan bangsawan lokal. Pada tahun 1940, Ngurah Rai akhirnya lulus dan dilantik sebagai Letnan II. Selepas itu ia melanjutkan pendidikan kembali di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang dan Pendidikan Artileri, Malang.

Pada masa pendudukan Jepang, I Gusti Ngurah Rai bekerja sebagai pegawai Mitsui Hussan Kaisya, perusahaan yang bergerak di bidang pembelian padi rakyat. Ia tidak bergabung dengan laskar kemiliteran bentukan Jepang, tetapi menghimpun pemuda-pemuda Bali dalam Gerakan Anti Fasis (GAF). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan I Gusti Ngurah Rai ditunjuk sebagai Komandan TKR Wilayah Sunda Kecil (meliputi Bali dan Nusa Tenggara). Sebagai Komandan TKR Sunda Kecil, Ngurah Rai merasa perlu untuk melakukan konsolidasi dengan pimpinan TKR pusat yang saat itu bermarkas di Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta, Ngurah Rai dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat letnan kolonel.

Kembali dari Yogyakarta dengan bantuan persenjataan, Ngurah Rai mendapati bahwa Belanda telah menduduki Bali dengan memengaruhi raja-raja Bali. Bersama Ciung Wanara, pasukan kecil yang dibentuknya, Ngurah Rai pada tanggal 18 November 1946 menyerang Tabanan dan berhasil membuat satu datasemen Belanda bersenjata lengkap menyerah. Pertempuran tersebut dilatarbelakangi dengan kekecewaan Ngurah Rai atas hasil dari perjanjian Linggarjati antara Belanda dan pemerintah Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Belanda mengakui kekuasaan Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra. Akan tetapi, Bali hanya diakui menjadi bagian dari negara Indonesia Timur buatan Belanda.

Kekalahan di pertempuran tersebut memicu Belanda untuk membalas dengan mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Pulau Bali dan Lombok. Sebanyak kurang lebih 2.000 pasukan bersenjata lengkap dan sejumlah pesawat terbang, Belanda pun menyerang Ngurah Rai dan pasukan kecilnya. Dalam pertempuran tersebut, pertahanan demi pertahanan yang dibentuk Ngurah Rai hancur. Di Desa Margarana, pertahanan terakhir Ciung Wanara, Ngurah Rai dan pasukannya berhasil dikalahkan. Perang tersebut akhirnya dikenal dengan Perang Puputan Margarana karena sebelum gugur Ngurah Rai sempat meneriakkan kata puputan yang berarti perang habis-habisan sampai mati. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 November 1946.

Berkat jasanya tersebut, Ngurah Rai mendapatkan gelar Bintang Mahaputra dan dinaikkan pangkatnya menjadi Brigjen TNI (anumerta). Tak hanya itu, ia juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Nama I Gusti Ngurah Rai juga dijadikan sebagai nama bandara dan nama jalan utama di Bali serta gambarnya tertera di uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Ada pula acara tahunan yang diselenggarakan setiap 20 November sebagai momen mengingat sejarah Puputan Margarana.

(Sumber: https://m.merdeka.com/i-gusti-ngurah-rai/profil/ dengan pengubahan)


Berdasarkan teks biografi di atas, jawablah beberapa pertanyaan berikut dalam bentuk ulasan!


0 Post a Comment:

Posting Komentar