MEMBANGUN PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BUDAYA LEGO-LEGO DI SMP NEGERI PUMI
Oleh :
Achmad Hambali
SMP Negeri Pumi, Kabupaten Alor – NTT
Abstrak
Tujuan
penelitian ini untuk mendeskripsikan penguatan pendidikan karakter peserta
didik melalui budaya lego-lego yang diterapkan di SMP Negeri Pumi sebagai
kegiatan tambahan pembelajaran serta sebagai sarana melestarikan budaya bangsa
pada umumnya dan budaya masyarakat kabupaten Alor pada khususnya. SMP Negeri
Pumi yang termasuk sekolah di wilayah daerah terpencil dan tertinggal di
Kabupaten Alor, NTT menjadikan lego-lego sebagai media sarana penguatan
pendidikan karakter bagi peserta didik. Pendidikan karakter yang diharapkan
mampu menjadikan insan yang saling menjaga kerukunan, persaudaraan antara
sesama, menumbuhkan sikap cinta tanah air dan tetap terjalinnya persatuan dan
kesatuan sebagai masyarakat berbangsa dan bernegara. Lego-lego yang menjadi
warisan leluhur masyarakat Alor mempunyai banyak makna yang terkandung
didalamnya. Lego-lego yang saat ini kurang diminati oleh generasi muda di era
sekarang ini, dicoba ditanamkan kembali kepada peserta didik di SMP Negeri
Pumi. Besar harapan peserta didik bisa mengambil dan mengamalkan makna yang
terkandung dalam lego-lego dalam kehidupan bermasyarakat.
Kata Kunci : Penguatan Pendidikan Karakter, Budaya
Lego-lego, Karakter Peserta didik
1.
PENDAHULUAN
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Di masa sekarang ini banyak orang tua yang masih
berpikiran bahwa anak-anak mereka sukses dalam bidang pendidikan berdasarkan
nilai-nilai angka yang dicapai di sekolahnya. Contohnya berpacu pada peringkat
dan nilai pada mata pelajaran yang di UN kan.
Dari sinilah kebanyakan orang tua juga mencarikan tempat
les tambahan ternama agar mencapai nilai yang bagus tersebut. Akan tetapi yang tak kalah penting disini yang
masih sering kita lupakan adalah tentang pendidikan karakter serta perilakunya
terhadap lingkungan sekitar.
Seperti yang kita ketahui sekarang ini, pembelaran
mengenai moral dan akhlakul karimah mulai berkurang di dunia pendidikan
dan lingkungan keluarga. Fenomena penyimpangan akhlak siswa terhadap teman,
keluarga, dan guru di sekolah masih sering terjadi di dunia pendidikan
akhir-akhir ini. Hampir di setiap media sosial kita mendengar kenakalan siswa
baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga. seperti contoh kasus
kenakalan seorang siswa melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan kepada
gurunya ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. Aksi penindasan,
perundungan, pengintimidasian atau yang populer dikenal dengan istilah bullying
sesama teman pun menjadi hal yang biasa di lingkungan sekolah, aksi ini bisa berakibat
buruk bagi psikologi anak korban bullying tersebut. Viralnya aksi bullying
sesama teman sekolah dan tidak adanya rasa hormat siswa dengan guru
merupakan salah satu wujud bahwa bangsa kita sedang dilanda krisis moral.
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh dari banyak
kasus yang masih sering terjadi didalam
dunia pendidikan kita saat ini. Sekolah yang pada dasarnya menjadi tempat atau
wadah para siswa untuk mencari ilmu, mengasah atau membentuk karakter yang baik
dan bermartabat seperti yang dicita-citakan akan menjadi angan-angan semata
jika tidak didukung dan tidak adanya peran aktif dari orang tua.
Presiden Joko Widodo melalu Gerakan Nasional Revolusi
Mental (GNRM) mencanangkan salah satu butir Nawacita yaitu penguatan karakter
bangsa. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengan arahan Presiden kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk menanamkan dan membudayakan pendidikan karakter
di dalam dunia pendidikan. Atas dasar ini, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mencanangkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) serta bertahap
mulai tahun 2016 (Kemdikbud, 2016)
Merosotnya nilai-nilai moral yang ada pada peserta didik
akan mempermudah masuknya nilai-nilai radikalisme yang akan mempermudah
dipengaruhi orang-orang atau kelompok yang ingin menghancurkan bangsa Indonesia
melalui generasi muda yang masih berada di dalam dunia pendidikan. Oleh karena
itu harus adanya pencegahan sedini mungkin di dalam dunia pendidikan dengan pemberian
pendidikan karakter pada saat di usia dini, karena persatuan dan kesatuan suatu
negara serta kemajuan negara akan tercapai dari generasi-generasi muda yang
mempunyai moral yang baik.
Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat yang baik dalam
menanamkan karakter siswa. Dengan demikian, harusnya segala kegiatan yang ada
di sekolah, baik kegiatan pembelajaran maupun kegiatan pembiasaan-pembiasaan
semestinya dapat diintegrasikan dalam program pendidikan karakter. Jadi,
pendidikan karakter merupakan usaha seluruh warga sekolah untuk mewujudkan dan
menciptakan suatu kultur baru di sekolah, yaitu kultur pendidikan karakter.
Penanaman dan pembiasaan pendidikan karakter di sekolah melalui lingkungan
pendidikan dapat dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung
dan akhirnya terbentuklah suatu kultur sekolah (Pusat Kurikulum, 2010).
Pendidikan
karakter dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil (Samani dan Hariyanto, 2012:46). Wibowo (2012:36)
mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang menanamkan dan
mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik sehingga mereka
memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupan, baik
di keluarga, masyarakat, dan negara. Sementara itu, Bier dan Berkowitz (2005:7)
berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah
yang membantu siswa dalam perkembangan etika, tanggungjawab melalui model dan
pengajaran karakter yang baik melalui nilai-nilai universal.
Berdasarkan
pengertian di atas, pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada siswa sehingga mereka menerapkan dalam kehidupan, baik di
keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara serta dapat memberikan kontribusi
yang positif kepada lingkungannya. Berbagai cara dapat dilaksanakan dalam
menanamkan karakter di sekolah. Salah satunya adalah dengan cara pengembangan
dan pelaksanaan pendidikan karakter pada siswa berbasis kultur sekolah, yaitu
melalui program pengembangan diri siswa. Cara menanamkan nilai-nilai karakter
sekolah di bagi ke dalam beberapa bentuk kegiatan, antara lain kegiatan rutin,
kegiatan spontan, keteladanan dan juga pengondisian (wibowo, 2012:84-91)
Berbicara
pendidikan karakter di masyarakat kabupaten Alor, mereka mempunyai cara untuk
menguatkan pendidikan karakter dengan caranya sendiri sejak zaman nenek moyang
mereka. Masyarakat Alor yang mempunyai banyak sekali perbedaan, akan tetapi
bisa disatukan dan dieratkan dengan salah satu kesenian dan kebudayaan mereka,
yakni dengan tari lego-lego.
Masyarakat di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur
mempunyai keunikan tersendiri. betapa tidak, kabupaten yang berbatasan dengan Negara
Demokratik Timor Leste ini mempunyai kurang lebih 46 bahasa daerah dan
mempunyai 12 rumpun suku yang tersebar di wilayah dengan 15 pulau.
Menyikapi perbedaan yang beragam ini, masyarakat
kabupaten Alor menunjukkannya dengan saling bergotong-royong dalam kegiatan
apapun dan diakhiri dengan tarian adat lego-lego yang mempunyai banyak makna
dalam mempersatukan berbagai perbedaan yang ada pada masyarakat Alor.
Paparan permasalahan dia atas mengarahkan pentingnya
pendidikan karakter pada peserta didik di SMP N Pumi yang nantinya membentuk
generasi penerus bangsa dan tercapainya tujuan pendidikan nasional, sehingga
kami membuat naskah dengan judul “Membangun Penguatan Pendidikan Karakter
Melalui Budaya Lego-Lego di SMP Negeri Pumi”.
Bertolak dari urian sebelumnya, dapat dirumuskan
permasalahan dalam makalah ini yaitu : “Bagaimana cara membangun penguatan
pendidikan karakter melalu budaya lego-lego di SMP Negeri Pumi?”
2.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
yang menggambarkan situasi atau objek dalam fakta yang sebenarnya secara
sistematis. Lokasi penelitian adalah SMP Negeri Pumi, Kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur. Karakteristik dari subjek dan objek diteliti secara akurat,
tepat dan sesuai kejadian yang sebenarnya.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi,
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan cara
memperhatikan dan mengamatai seluruh kondisi dan kegiatan yang ada dalam
sekolah yang berkaitan erat dengan terciptanya penanaman atau pembentukan
karakter pada peserta didik (Moleong, 2010:174). Wawancara dilakukan kepada
informan baik, guru, kepala sekolah, peserta didik, tokoh adat, dan masyarakat
yang digunakan untuk mengetahui bagaimana penguatan pendidikan karakter pada
peserta didik. Wawancara dilaksanakan untuk mengenali informasi yang belum
diperoleh dari hasil observasi (Moleong, 2010:186). Catatan lapangan, merupakan
instrumen yang digunakan peneliti untuk merekam jalannya aktivitas penguatan
karakter di sekolah mulai masuk sekolah hingga jam sekolah berakhir (Moleong,
2010:208). Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen-dokumen atau catatan yang mendukung dalam proses penguatan karakter
peserta didik. Proses pengamatan dicatat dalam catatan lapangan foto sehingga
dapat digunakan untuk membantu proses refleksi.
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis induktif seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992).
Analisis dilakukan dengan empat tahapan, yaitu tahapan pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil SMP Negeri Pumi
SMP Negeri Pumi merupakan sekolah yang letaknya + 60 Km dari pusat ibu kota Kabupaten Alor, Kalabahi. SMP
Negeri Pumi merupakan salah satu sekolah di Kabupaten Alor yang termasuk daerah
terpencil atau daerah sangat tertinggal. Karena letak dan jaraknya yang sangat jauh dari pusat pemerintahan, di SMP Negeri Pumi belum
tersentuh listrik dan jaringan seluler atau internet.
SMP
Negeri Pumi berdiri tahun 2014, dengan guru yang sangat terbatas dan fasilitas
yang jauh dari kata memadai, kegiatan belajar mengajar menggunakan media
seadanya.
SMP
Negeri Pumi memiliki visi yang dijadikan sebagai landasan utama bagi sekolah,
yaitu : “Terwujudnya warga sekolah yang berakhlak mulia, berprestasi dan
berwawasan lingkungan serta ramah anak.” Berdasarkan rumusan visi tersebut, SMP
Negeri Pumi berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan yang seimbang antara
penguasaan ilmu, prestasi, dan juga akhlak, dan tindakan yang mencerminkan
nilai agama.
Sebagai
langkah untuk mewujudkan visi diatas, SMP Negeri Pumi menuangkannya dalam misi
sekolah seperti berikut :
·
Mengembangkan
kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah
·
Meningkatkan
profesionalisme dan kompetensi pendidik dan tenaga pendidikan.
·
Meningkatkan
kemampuan warga sekolah dalam IPTEK dan berbahasa inggris
·
Mengembangkan
potensi peserta didik yang kreatif, inovatif, berkualitas dan berakhlak mulia.
·
Terwujudnya
lingkungan sekolah yang bersih, rapi dan indah
·
Mengembangkan
fasilitas pendidikan sesuai kebutuhan
·
Mengembangkan
standar penilaian
·
Menanamkan
kepedulian sosial dan semangat kebangsaan
·
Terciptanya
budaya disiplin
·
Mengembangkan
jiwa cinta alam dan pelestarian lingkungan hidup
·
Meningkatkan
peran serta warga sekolah, orang tua siswa dan pemerintah desa dalam
pengembangan pengelolaan sekolah yang ramah lingkungan
·
Mewujudkan
lingkungan sekolah yang terhindar dari adanya kekerasan baik fisik ataupun
verbal.
Mengenal Budaya dan Makna Tari Lego-lego
Lego-lego
merupakan tarian adat yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang
masyarakat suku Alor yang sampai sekarang masih terjaga keasliannya. Tarian
lego-lego memiliki pesan dan makna yang sangat luhur. Tarian ini bermakna untuk
mengajak masyarkat untuk bersatu membangun kampung (daerah) dan negeri.
Tari
lego-lego biasanya digunakan dalam segala kegiatan upacara adat di Kabupaten
Alor. Namun, sekarang lebih banyak digunakan untuk menyambut tamu, dalam acara
pernikahan dan acara formal lainnya.
Kabupaten
Alor memiliki 12 rumpun suku yang tersebar di 15 pulau, setiap suku mempunyai
bahasa daerah sendiri, diperkirakan di Kabupaten Alor mempunyai 46 jenis bahasa
daerah, akan tetapi mayoritas masyarakatnya berbahasa Indonesia apabila bertemu
dengan penduduk dari suku (kampung) lain.
Pada
masing-masing wilayah di kabupaten Alor mempunyai nyanyian dan tarian lego-lego
yang berbeda-beda. Namun formasinya tetap sama, yakni lingkaran. Masing-masing
nyanyian dan pantun yang diungkapkan saat menari, memiliki arti serta harapan
yang berbeda-beda. Meski ada beberapa literatur yang mengatakan, tarian
lego-lego sempat menjadi tarian ketika
saat perang antar suku.
Seiring
perkembangan zaman, tari lego-lego digunakan untuk menyambut tamu penting.
Tarian ini adalah ungkapan rasa syukur dan bahagia. Tamu akan disambut oleh
masyarakat yang dituakan (tokoh adat) dengan salam khas mereka yaitu
menempelkan hidung tuan rumah dengan hidung tamu, kemudian diajaklah menuju
sebuah pohon besar yang rindang, dengan beberapa warga perempuan yang
berpegangan tangan mengelilingi pohon serta mazbah yang ada dibawah pohon
tersebut. Tamu dipesilahkan untuk ikut serta dalam tarian tersebut. Dengan
gerakan kaki yang dikoreografikan, penari akan bergerak mengitari pohon, sambil
menawarkan sirih pinang dan sopi (tuak). Gerakan kaki dan nyanyian di
masing-masing daerah bisa saja berbeda, namun bentuk formasi lingkaran dan
komponen tradisional lainya tetap sama.
Di
dalam lingkaran, terdapat tiga orang laki-laki yang memiliki tugas berbeda. Ada
pemukul gong yang nadanya akan digunakan untuk menghitung langkah penari,
kemudian ada seorang laki-laki yang bernyanyi sekaligus mengucapkan pantun, dan
seorang lagi bertugas membagikan sirih pinang dan sopi (tuak)
Tari
lego-lego dilakukan dengan membuat lingkaran, tangan saling bergandengan satu
sama lain, sirih pinang diedarkan dengan wadah atau tempat yang sama, sopi
(tuak) yang diedarkan dan diminum oleh penari berasal dari botol dan gelas yang
sama. Maksud dari semua ini adalah masyarakat akan terus bersatu dalam kondisi
apapun, mereka akan saling merasakan suka dan duka sesama saudara, pegangan
tangan yang sangat erat melambangkan bahwa mereka akan sulit untuk dipisahkan,
sekali saudara tetap saudara selamanya.
Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Budaya Lego-lego di SMP Negeri Pumi
Dalam
pelaksanaan penguatan pendidikan karakter melalui budaya lego-lego di SMP
Negeri Pumi terdapat berbagai metode, program, dan cara yang diterapkan agar
tercipta karakter yang lebih kuat. Penguatan pendidikan karakter melalui budaya
lego-lego yang dilakukan guru-guru di SMP Negeri pumi kepada peserta didik
ketika mengadakan tarian lego-lego setiap dua minggu sekali setiap hari jumat
pagi sebagai wujud bahwa warga sekolah masih melestarikan budaya leluhur.
Lego-lego
yang biasanya diminati kalangan kaum tua dan di masa era sekarang sedikit
sekali generasi penerus yang tidak lagi tertarik dengan budaya leluhur
masyarakat Alor ini, maka sekolah melakukan sebuah inovasi berupa memasukkan
kegiatan tari lego-lego kedalam program sekolah guna menjadikan warisan leluhur
ini sebagai daya tarik peserta didik dan sebagai pembelajaran penguatan
karakter.
Budaya
lego-lego yang mempunyai banyak sekali filosofi ini terus digencarkan untuk
menguatkan pendidikan karakter peserta didik, adapun nilai-nilai yang bisa
dipetik dari budaya lego-lego ini antara
lain persatuan, kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras,
disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan,
tanggungjawab, dan rasa memiliki.
Berikut
ini adalah pelaksanaan penguatan berbagai nilai karakter kepada peserta didik
melalui budaya lego-lego yang agendakan secara rutin maupun kondisional.
Pertama,
religius. Penanaman religius pada peserta didik terlihat dari peserta yang
mengikuti tari lego-lego merupakan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
telah menjadikan masyarakat Alor yang mempunyai banyak sekali perbedaan akan
tetapi mempunyai tarian yang bisa mempersatukan perbedaan tersebut.
Pada
zaman dahulu kala lego-lego selain menjadi tarian untuk perang, tarian ini juga
dijadikan tarian sebagai wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Tuhan
kepada hambanya, biasanya tarian ini dilakukan ketika musim panen telah tiba.
Peserta
didik diajarkan untuk terus bersyukur atas karunia yang tak ternilai harganya
ini. Kegiatan bersyukur bisa dilakukan dengan berbagai cara menurut keyakinan
dan kepercayaan masing-masing, tidak terkecuali masyarakat Alor yang
mengekespresikan melalui tarian lego-lego.
Kedua,
semangat persatuan, kebangsaan dan cinta tanah air. Ketika Alor masih dalam
masa penjajahan negara Belanda, masyarakat Alor mempunyai ciri khas yang unik
untuk mengumpulkan masyarakat guna mengusir penjajah. Mereka akan memukul Moko
(alat musik khas Alor) untuk memanggil masyarakat lainnya dan berkumpul membuat
lingkaran sambil bergandengan tangan sebagai simbol persatuan dan kesatuan,
bahwa masyarakat Alor sulit untuk dipecah belah.
Dewasa
sekarang ini masyarakat Indonesia mudah sekali diprovokasi termakan berita hoax
dari media sosial. Masyarakat yang mudah sekali terpancing berita hoax seperti
ini sangat dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi kerukunan antar warga
negara, terlebih lagi berdampak buruk bagi persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Info
hoax yang sering kita jumpai di media sosial membuat masyarakat resah dan penuh
kebencian kepada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan mereka. Maka dari itu,
semangat persatuan, kebangsaa, dan cinta tanah air di SMP Negeri Pumi terus
kita pupuk melalui budaya lego-lego untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi bangsa yang kuat yang menjunjung nilai persatuan dan kesatuan
terutama bagi peserta didik SMP Negeri Pumi.
Ketiga,
komunikatif. Tari lego-lego mempunyai irama dan ketukan yang unik, bagi orang
yang pertama kali melihatnya terkesan mudah dilakukan, akan tetapi banyak orang
yang gagal dipercobaan pertama. Tarian yang memadukan irama gerak kaki dan ayunan
tangan yang terus bergandengan ini menjadikan persahabat semakin erat antar
sesama. Pada tari ini terdapat tiga orang yang menabuh gong dan satu orang yang
memimpin membawakan sebuah pantun dan diikuti oleh peserta lainnya. Jika tidak
adanya komunikasi yang baik, tentunya tidak akan menghasilkan irama dan gerakan
yang indah dalam tarian ini.
Hal
ini mengajarkan bahwa pentingnya saling komunikasi kepada sesama untuk
menciptakan kerukunan agar hidup indah dan lebih bermakna. Tanpa adanya
komunikasi akan membuat hidup kita terasa tanpa arah dan tanpa tujuan. Inilah
yang selalu ditanamkan kepada peserta didik untuk terus menjalin komunikasi
kepada siapapun untuk menentukan kearah mana jalan ini harus ditempuh.
Keempat,
Kerukunan, Lego-lego tidak mengenal adanya deskriminasi, lego-lego bisa
dilakukan semua kalangan, mulai dari masyarakat kalangan atas hingga kalangan
bawah. Lego-lego tidak lagi mengenal suku maupun agama. Orang yang sudah
bergabung dan bergandengan tangan, artinya orang itu sudah menjadi bagian dari
keluarga yang menjunjung arti dari persatuan dan kesatuan.
Kerukunan
dalam lego-lego tentunya bisa kita petik maknanya bagi kehidupan sehari-hari.
Kerukunan dalam lego-lego yang tidak memandang status sosial merupakan sikap
yang perlu dilestarikan. Dewasa ini, Indonesia sedang dilanda krisis sosial.
Sering kita jumpai dimedia sosial, masyrakat kita yang beda pandangan politik
saling berseteru satu sama lain. Antara saudara kandung saling menyalahkan
hingga saling adu fisik. Hal ini tentunya tidak pantas jika dilihat oleh
anak-anak kita. Secara tidak langsung anak-anak yang masih dalam proses
pembelajaran tentunya akan mengikuti perilaku orangtuanya.
Sering
kita jumpai peserta didik melakukan tindakan bullying kepada teman lain
hanya karena adanya perbedaan, entah itu beda agama atau beda suku. Hal semacam
ini tentunya tidaklah pantas terjadi di lingkungan sekolah yang menjadi wadah
untuk mengajarkan pendidikan karakter. Oleh karena itu, peserta didik di SMP
Negeri Pumi terus menerus dilakukan penguatan pendidikan karakter agar tidak
terjadi lagi tindakan bullying di lingkungan sekolah.
Selain
menjadikan lego-lego sebagai kegiatan rutin bagi peserta didik di sekolah untuk
menjaga kelestariannya dan mengambil butir-butir nilai yang terkandung didalamnya,
lego-lego juga dijadikan sebagai tarian wajib apabila sekolah mendapat tamu
kedinasan. Setiap semester di SMP Negeri Pumi guru, peserta didik, dan komite
sekolah mengajak orang tua peserta didik untuk ikut melakukan tarian lego-lego
ketika pengambilan raport.
Lego-lego
merupakan warisan leluhur yang banyak akan makna yang terkandung didalamnya.
Sangat disayangkan apabila generasi sekarang tidak lagi bisa merawat dan
melestarikan budaya warisan ini. Lego-lego juga merupakan aset kekayaan
masyarakat Kabupaten Alor dan Indonesia yang tidak boleh diambil oleh negara
lain. Warisan yang wajib dilestarikan untuk generasi yang akan datang.
4.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian dan pembahasan tentang penguatan pendidikan karakter melalui budaya
lego-lego di SMP Negeri Pumi, dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai
berikut. Lego-lego merupakan budaya warisan leluhur masyarakat Alor yang
memiliki banyak akan makna terkait penguatan pendidikan karakter. Lego-lego
dapat mempersatukan masyarakat Alor yang mempunyai banyak sekali perbedaan
mulai dari bahasa, agama, hingga suku budaya.
Lego-lego
dapat digunakan sebagai sarana untuk mempersatukan masyarakat yang sedang
mengalami perselisihan dan perbedaan. Selain persatuan, lego-lego juga dapat dijadikan
sarana untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
menanamkan rasa cinta kepada tanah air.
Peserta
didik di SMP Negeri Pumi menjadikan lego-lego sebagai media pembelajaran untuk
saling kasih mengasihi antar sesama dan sebagai sarana untuk menguatkan rasa persaudaraan
antara warga sekolah. Lego-lego di SMP Negeri pumi merupakan kegiatan wajib
bagi seluruh warga sekolah baik itu guru, peserta didik, bahkan orang tua
peserta didik.
Setelah
kita berhasil mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lego-lego,
tentunya diharapkan untuk bisa mengimplementasikan di lingkungan masyarakat
agar terciptanya lingkungan yang damai, aman, sejahtera, saling kasih mengasihi
dan terciptanya antar sesama manusia.
5.
DAFTAR
PUSTAKA
Bier, M. C., & Berkowitz, M. W.
2005. “What Works in Character Education. Leadeship for Student Activities.”
ProQuest Research Library. Vol. 34, No.2. pg 7-13.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter
Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : TIM PPK
Kemendikbud.
Miles, M. B. & Huberman, A.M.
1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi R.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Moleong, L.J. 2010. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Pusat Kurikulum, L.J. 2010. Buku
pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum
Kemdiknas.
Samani, M dan Hariyanto. 2012. Pendidikan
Karakter : Konsep dan Model. Bandung : Remaja Rosda Karya
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan
Karakter : Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
0 Post a Comment:
Posting Komentar