Razak tak pernah menghitung lagi sudah berapa malam ia terhenyak bangun dari tidur. Dikeluarkannya sebuah agenda berwana cokelat kayu dan sebuah pena dari dalam laci meja kerjanya. Nyaris sama seperti mimpi-mimpi melelahkan yang sebelumnya ia alami, Namun kali ini dia pun mendengar suara yang sangat dikenalinya. Sang guru yang begitu ia hormati. Razak menyebutnya, Pak Yai.
Dengan kernyitan di kening, ia pandangi tulisan tangan yang membunyikan suara Pak Yai di mimpi dengan tak mengerti. Sungguh aneh mengingat sudah bertahun-tahun ia meninggalkan pesantren dan sangat jarang mendengar kabar dari tempat dimana ia menghabiskan masa remajanya. Terlepas jarak yang begitu jauh, Razak terlampau sibuk begitu dirinya diterima sebuah firma hukum ternama di ibukota. Belum lagi dengan tingkat keberhasilannya dalam menyelesaikan kasus dianggap tinggi membuat beberapa orang kepincut menjadi kliennya. Dan beberapa diantaranya orang-orang terpengaruh di negeri ini.
‘Razak, sudah berapa lama kamu jadi pelupa?’
Suara Pak Yai masih terngiang di telinganya meskipun ucapan itu cuma terdengar melalui mimpi. Razak tak ingat apa yang terjadi di mimpinya, dan bagaimana beliau bisa hadir di mimpinya. Yang ia tahu hanyalah dawuh1 Pak Yai terdengar sangat jelas di benaknya. Dihabiskannya malam itu dengan berkutat di lembaran data kasus yang sedang ia tangani. Baru ketika shubuh tiba, ia beranjak dari meja kerja dan bergegas mengambil wudhu.
***
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kali ini datanglah.” kata Rohman, teman seperjuangannya di pesantren melalui sambungan telepon. Laki-laki yang memilih mengabdi di lembaga pendidikan agama islam itu baru saja mengajaknya untuk menghadiri reuni akbar yang diselenggarakan pihak pesantren.
“Insya Allah. Kalau nanti ada waktu, saya akan datang.” jawab Razak sembari menyetir dalam perjalanan menuju ke kantor. Ia tutup panggilannya setelah Rohman mengucap salam. Lokasi kantor firma hukumnya tak begitu jauh dari rumahnya. Namun kemacetan Jakarta yang luar biasa di jam-jam sibuk seperti ini membuatnya memilih jalur tol. Meski agak memutar, ia bisa menghemat waktu hingga empat puluh lima menit.
1 Ucapan
Setibanya di kantor, ia sudah di tunggu pria berperawakan gemuk dengan rambut yang mulai memutih di beberapa bagian. Melihat kehadirannya sendiri tanpa mengutus anak buah sebagai perwakilan, Razak yakin ada sesuatu yang terjadi.
“Bagaimana kabar Pak Razak?” tanya laki-laki itu seraya menjabat tangan Razak mantap. Razak tersenyum membalas jabatan tangannya.
“Sebaik anda, Pak Nugroho.” Razak mengamati raut muka Nugroho yang agak memasam. Hanya saja pria berusia lima puluh tahunan itu cerdik menyembunyikannya di balik senyuman.
“Terkait persoalan yang saya kirimkan kemarin,” ujar Nugroho tanpa basa-basi setelah keduanya masuk ke dalam ruangan Razak. “Tolonglah buat hakim menyatakan tidak bersalah. Kasus ini cukup membuat beberapa urusan bisnis saya agak berantakan. Bayangkan saja, Pak Razak. Dua tender saya lepas begitu saja saat berita ini muncul. Belum lagi media sekarang seperti gurita. Hal ini membuat saya sedikit jengkel.” Razak tersenyum mendengarkan keluhan klien yang sudah ia tangani setahun terakhir.
“Sepertinya untuk membuat dakwaan menjadi tidak bersalah agak sulit, Pak Nugroho. KPK berhasil menemukan banyak bukti. Dan kita tidak bisa mengotak-atik lembaga yang satu itu.” terang Razak tak seperti biasanya. Sejak ia terjun menangani beberapa kasus yang melibatkan petinggi-petinggi negeri, entah sudah berapa kali ia melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dipelajarinya selama di pesantren. Menyuap saksi, memanipulasi bukti, bekerja sama dengan jaksa sekaligus hakim untuk keputusan dakwaan terhadap klien-kliennya. Memang benar sebobrok inilah negara yang diaku sebagai surga oleh beberapa kalangan. Razak yang bermimpi menjadi bagian dari penegak hukum pun memiliki cita-cita untuk memberikan keadilan bagi orang-orang yang tak mampu membela dirinya dengan layak di meja persidangan. Tapi lihatlah dirinya sekarang.
“Saya percaya dengan Pak Razak. Kredibilitas anda kan sudah terkenal diantara teman-teman. Yang jelas income dari kasus ini saya jamin setimpal dengan keringat Pak Razak.” Nugroho mengeluarkan tawa yang justru membuat senyum Razak perlahan memudar meski menyisakan segaris sunggingan atas nama kesopanan. Razak merasakan dadanya seperti terhimpit. Entah mengapa bayangan suara Pak Yai mengganggunya. Bahkan kini ingatan saat dirinya bersimpuh di hadapan Pak Yai di hari terakhirnya berada di pesantren mencuat.
“Tidak ada yang menjamin seorang alim akan tetap menjadi alim hingga akhir hayatnya. Tak ada pula yang menjamin ahli maksiyat akan tetap bermaksiyat di ujung usianya. Kamu tahu kisah barsiso2? Dia habiskan nyaris seumur hidupnya beribadah kepada Gusti Pengiran. Namun di detik-detik kematiannya, ia justru terjerumus pada dosa yang begitu besar tanpa ada sisa waktu untuknya bertaubat.” Razak mendengarkan dengan khidmat di bawah kursi Pak Yai. Pak Yai yang mengenakan sarung coklat dan baju koko putih tulang memandang ke arah bangunan pesantren yang telah didirakannya berpuluh tahun silam. Matanya yang seteduh telaga memancarkan kedalaman ilmu serta kerendahan hati di titik yang sukar dicapai. Sudah berapa manusia yang luar biasa luas ilmunya namun meremehkan sesamanya. Bahkan tak sedikit yang menyombongkan diri bahwa ialah sang ahli ilmu.
“Hati manusia itu lemah, Razak. Mudah terhasut, sangat rapuh dan mudah sekali dimanipulasi. Sedikit saja sombong merasuk, atau sedikit saja amarah terbersit, entah kesilapan apa yang bisa kita perbuat.”Pak Yai berujar dengan nada paling muram yang pernah Razak dengar. “Dunia ini tidak sesederhana dunia yang sedang kamu pandang. Akan tiba saatnya dimana kamu akan memaklumi yang salah dan memutar balikkan kebenaran. Akan ada waktunya ketika kamu akan mengabaikan nilai kebenaran yang Alloh firmankan, dan Sunnah ajarkan. Saat kamu mulai lupa, ingatlah sore ini. Ingatlah ajaran yang kamu peroleh di tempat ini.”
***
Razak berjalan gontai begitu masuk ke dalam rumahnya. Selepas pembicaraannya dengan Nugroho, ia tak dapat berkonsentrasi dengan sisa pekerjaannya. Bahkan ia menangkap kesan tak puas dari pria yang saat ini duduk di kursi dewan perwakilan rakyat itu. Selama tujuh tahun ia geluti bidang ini, hari ini merupakan kali pertama dirinya menolak permintaan dari seseorang yang cukup berpengaruh di nusantara. Di sela ia melepas jas yang dikenakannya, satu nada notifikasi terdengar dari ponsel. Ia buka chatting yang dikirimkan salah seorang rekan sejawat profesinya.
Tumben lu pulang cepet. Nggak main dulu kesini? Anak-anak nunggu di kelab biasa.
2 Kisah seorang ahli ibadah yang mati dalam kondisi su’ul khotimah.
Bertepatan ketika ia membaca pesan dari kawannya itu, sebuah notifikasi lain terdengar. Kali ini dari Kang Rohman.
Assalamu’alaikum, Kang3 Razak. Untuk reuni minggu depan jika sampeyan4 terlalu sibuk atau lelah, tak perlu memaksakan untuk datang. Pagi tadi saat di telepon aku dengar suara sampeyan sangat lesu. Meskipun teman-teman lain pasti akan senang jika sampeyan bisa hadir. Terlebih Kang Razak ini kan salah satu santri terdekat abah dan panutan kita semua. Tapi tetap saja kalaupun tidak dapat hadir, sampeyan tidak perlu memaksakan datang.
Razak hampir saja tergugu dengan ponsel yang masih berada di genggamannya. Hatinya serasa remuk redam. Jauh disana seluruh temannya menghormatinya tanpa tahu telah menjadi apa dirinya sekarang. Razak yang begitu teguh pada ajaran agama telah menghilang. Prinsip yang ia anut memudar seiring pola pikir masyarakat dimenangkan oleh golongan yang mengatakan uang mampu menaklukkan dunia. Dan Razak menjadi bagian yang telah ditaklukkan.
Sudah berapa lama kamu menjadi pelupa?
Kini laki-laki yang baru menginjak kepala tiga itu terkulai lemas dalam simpuhnya. Pesan Pak Yai yang ditemuinya dalam mimpi seolah menjadi jawaban atas kegelisahannya selama ini. Atas mimpi-mimpi melelahkan yang ia alami. Sekaligus menjadi tamparan yang membuatnya kembali tersadar. Ditatapnya selembar sajadah yang digunakannya shubuh tadi. Jika bukan karena mimpi Pak Yai, ia yakin waktu shubuh akan terlewat seperti yang dilaluinya bulan-bulan belakangan.
“Ya Allah. Apa yang telah kulakukan?” lirihnya di tengah titik-titik air mata yang tak sanggup ia bendung. Razak terpekur didalam malamnya. Meratapi dirinya sendiri. Setelah isya ia tunaikan, sejadi-jadinya ia menangis dihadapan Sang Pencipta. memanjatkan permohonan ampun yang ia rasa tak kan cukup menebus kesalahannya. Begitu ia rasa telah tenang, diraihnya ponsel yang tergeletak diatas nakas dan menulis pesan dengan cepat.
Insya Alloh, saya datang. Tolong besok temani aku ke makam Pak Yai, Kang. Saya rindu beliau.
3 Panggilan kakak laki-laki. Biasa digunakan di lingkungan pesantren
4 Kamu (bahasa jawa)
0 Post a Comment:
Posting Komentar