TANPA BATAS

 TANPA BATAS 

Anak laki-laki berbaju lusuh itu menempelkan jari telunjuk pada ujung bibirnya yang sengaja ia kerucutkan, memberi isyarat pada anak perempuan yang ikut berjongkok di sampingnya agar tidak mengeluarkan suara. Anak perempuan berambut pendek sebahu di sampingnya membalasnya dengan anggukan. Tubuh mungil mereka tersembunyi dengan sempurna di balik pintu kandang ayam yang terletak di kolong rumah. 



“Arai! Di mana lah kau? Awas lah kalau ketemu, kucubit pantatmu!” 

Suara itu menggelegar dari balik pintu kandang ayam. Anak laki-laki itu semakin mengkerut. Hari ini tidak boleh ketahuan, pikirnya. 

“Arai!” Suara itu perlahan menjauh. 

Sudah dua hari Arai dan Maharati bersembunyi di kandang ayam. Arai terpaksa bersembunyi untuk menghindari Mamaknya. Kalau ketahuan, ia pasti akan diseret Mamak untuk bekerja di ladang seperti biasa. Tempat persembunyian mereka sebelumnya diketahui oleh Mamak. Alhasil, Arai terpaksa harus ikut ke ladang hari itu. Biasanya Arai selalu bersemangat ikut membantu Mamak bekerja di ladang. Ia bisa bermain dengan teman-temannya di sana setelah membantu Mamak. Tapi, ia menemukan hal yang jauh lebih menarik dari bekerja di ladang. Pergi ke sekolah. 

“Kau pikir Mamakku sudah pergi?” tanya Arai sambil berbisik. 

“Sepertinya sudah.” jawab Maharati. 

Arai mengintip dari balik pintu, tidak terlihat tanda-tanda Mamaknya. Semburat cahaya matahari sudah mulai mengintip di ufuk timur. Seharusnya Mamak sudah pergi ke ladang bersama ibu-ibu yang lain. Arai membuka pintu kandang dengan perlahan. Matanya awas memperhatikan sekelilingnya. Mata tajamnya itu sudah sangat terlatih dalam mengamati lingkungannya. Berburu adalah hobinya. Seharusnya menghindari Mamak adalah perkara yang mudah. 

“Ayo, cepat!” Perintahnya pada Maharati. 

Arai mengendap keluar dari kandang ayam. Matanya tak lengah mengamati tanda-tanda Mamaknya. Tapi ia tidak melihat siapapun. Pasti Mamak sudah berangkat ke ladang, pikirnya. Dua bocah itu kemudian bergegas menuju balai dusun. Sudah dua minggu sekolah sederhana itu berdiri di sana. Tidak ada bangunan khusus. Hanya ada satu papan tulis, dua buah meja kayu, dan dua kursi panjang untuk para murid yang jumlahnya dapat dihitung

dengan jari itu. Ruang kelas itu berada di ruang serba guna yang biasa digunakan oleh penduduk dusun untuk bermusuawarah. Lantainya pun masih beralaskan tanah. Arai dan Maharati seperti kehabisan napas saat mereka tiba di depan pintu kelas. Bu Dini, satu-satunya pengajar dari kabupaten, sedang duduk menantikan murid-muridnya ketika mereka tiba. Wajahnya langsung berbinar-binar melihat Arai dan Maharati, dua muridnya yang paling bersemangat. Atau mungkin lebih tepatnya dua murid yang paling sering datang ke sekolah sejak dua minggu lalu. 

“Kalian hanya berdua? Di mana Dahan?” tanya Bu Dini ketika Arai mencium tangannya. 

“Sepertinya dia tidak berhasil kabur, Bu.” jawab Arai polos.

 Bu Dini hanya tersenyum maklum. Dahan adalah murid ketiganya setelah Arai dan Maharati. Rumah Dahan memang terletak agak jauh dari rumah Arai dan Maharati. Karenanya, Dahan sering tidak bisa ikut bersekongkol dengan keduanya. 

“Belajar apa hari ini kita, Ibu?” Maharati bertanya seraya duduk di samping Arai. 

Bu Dini bangkit dari tempat duduknya dan mengambil sebuah kapur dari atas meja lalu menulis di papan tulis dengan ukuran tulisan yang besar. I M P I A N “I-M... im. P-I... pi. A-N.. an.” Arai terdengar mengeja huruf demi huruf. 

Ia termasuk anak yang cepat belajar. Ia sudah bisa mengeja, meskipun baru satu minggu ia menyicipi bangku sekolah. 

“Hari ini kita tidak belajar menulis atau membaca. Hari ini, ibu mau kalian bercerita tentang impian kalian.” pinta Bu Dini. Arai dan Maharati saling berpandangan. 

“Impian itu apa, Bu?” tanya Maharati polos. 

“Apa keinginan terbesar Maharati?” tanya Bu Dini lembut. 

Gadis kecil itu terdiam sejenak lalu menjawab, 

“Maharati ingin menjadi seperti Bu Guru. Bu Guru cantik, baik, pintar..” 

“Kalau kamu ingin menjadi seperti Ibu, kamu harus rajin belajar.” pesan Bu Dini. “Kalau kamu bagaimana, Arai? Apa impianmu?” “Arai ingin naik pesawat, Bu Guru. Setiap Arai membantu Mamak di ladang, Arai sering melihat pesawat terbang. Arai bingung, kenapa pesawat bisa terbang seperti burung, Bu?” tanya Arai antusias.

Lagi-lagi Bu Dini tersenyum. 

“Pesawat bisa terbang karena dia memang dirancang seperti burung. Ada mesin yang menggerakannya. Maka dari itu, pesawat bisa terbang mengantarkan kita ke manapun yang kita mau.” 

“Arai ingin melihat kota kabupaten, Bu Guru.” sahut Arai. 

“Kota kabupaten?! Tidak ada kota kabupaten!” Suara itu memecah kedamaian kelas, bagai petir di siang bolong. 

Mamak berdiri di ambang pintu. Tatapannya menjurus pada Arai dengan murka. Sekejap kemudian, Mamak masuk ke dalam kelas lalu menarik telinga Arai tanpa ampun. 

“Mamak cari kau ke mana-mana. Rupanya di sini lagi kau. Sudah tak mau lagi kau membantu Mamak?! Ayo, ikut Mamak ke ladang!” Mamak menyeret Arai yang meronta, tidak mau pergi. 

“Mak, sabar lah dulu. Arai kan-“ 

“Kau lagi! Pasti lah kau yang menyuruh anakku sekolah kan?! Anakku tak perlu sekolah. Dia akan bekerja di ladang ketika besar nanti. Tak perlu lah kau repot-repot mengajar di dusun ini. Balik lagi saja kau ke kabupaten sana!” omel Mamak Arai. 

Belum puas, Mamak menambahkan, 

“Sudah kuperhatikan Arai berubah sejak dua minggu lalu. Sembunyi-sembunyi di kamar. Diajak ke ladang pun tak mau. Sudah pandai dia melawan Mamaknya. Mau jadi macam apa anak macam itu?! Gara-gara sekolah ini lah dia seperti itu.”

“Sekolah itu penting, Mak. Arai mau sekolah.” Arai memohon sambil memegangi telinganya yang masih ditarik oleh Mamaknya.

“Kau tak perlu sekolah, Arai. Kau masih bisa makan dan bekerja di ladang macam Mamak. Sudah! Sekarang kita ke ladang!” Mamak menyeret Arai yang merintih kesakitan keluar dari kelas.

Bu Dini masih terdiam menyaksikan perlakuan Mamak Arai. Air mukanya berubah menjadi sedih bercampur marah. Sedih karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk menahan agar Arai tetap bisa sekolah. Ia juga marah atas pola pikir masyarakat dusun yang masih menganggap bahwa sekolah merupakan suatu hal yang tidak penting.

Masalah itu tidak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, baik Arai maupun Maharati tidak datang ke sekolah. Bu Dini yakin Mamak Arai tidak akan mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Arai agar ia tidak pergi ke sekolah. Ia menunggu kehadiran murid-muridnya itu sepanjang hari hingga matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Dengan langkah yang berat, Bu Dini meninggalkan balai dusun, menyusuri jalan setapak menuju tepi jalan provinsi untuk menunggu angkutan menuju kabupaten.

Saat tengah berjalan menyusuri setapak, sayup-sayup ia mendengar suara yang memanggil namanya. Semakin lama, suara itu semakin jelas. Ia memutuskan untuk berhenti. Tak lama kemudian, Arai muncul dari kejauhan sambil menangis.

“A-arai i-ingin se-sekolah, Bu.” Ujarnya tersedu-sedu. Melihat hal itu, Bu Dini langsung meraih tangan Arai dan menuntunnya kembali ke dusun. Matahari mulai terbenam ketika mereka tiba di halaman rumah kepala dusun. Bu Dini mengetuk pelan pintu yang tertutup rapat.

“Ada apa, Ibu?” suara Pak Dayat, kepala dusun sekaligus orang yang dituakan di desa itu terdengar dari belakang setelah Bu Dini mengetuk pintu rumah beberapa kali. Bu Dini langsung menceritakan semua yang terjadi kepada Pak Dayat. Akhirnya, malam itu diadakan musyawarah di balai dusun. Semua orang hadir, termasuk Mamak Arai yang masih tampak kesal melihat Bu Dini yang duduk di antara mereka.

“Sebelumnya saya memohon maaf apabila kehadiran saya di dusun ini kurang berkenan,” ujar Bu Dini pelan, “Dulu kita bersepakat bahwa kita akan membiarkan anak-anak kita memilih untuk bersekolah di balai dusun atau tidak, lalu mengapa ketika mereka ingin sekolah dan bermimpi, kita justru menghalanginya? Arai contohnya, ia ingin naik pesawat. Ia ingin melihat kabupaten. Lalu, apakah kita tega menghancurkan mimpi itu? Kita tidak mau melihat mereka menjadi orang sukses?” Bu Dini bertanya retoris. Mamak tertunduk malu.

“Sudah saatnya kita memberikan kesempatan bagi mereka untuk meraih cita-citanya. Kita tidak boleh menjadi penghalang bagi mereka. Biarkan mereka membentangkan sayap mereka dan terbang menuju impian mereka tanpa ada batas apapun.” Bu Dini menutup pidatonya.

Groningen, 16 Juni 2012

“Bagaimana kabarmu, Arai? Bagaimana Jerman?” Suara wanita itu keluar dari speaker laptop empat-belas-inci di hadapan pemuda yang duduk sendiri di kafetaria kampus yang terkenal dengan teknik penerbangannya itu. Gambar wanita paruh baya terlihat tengah tersenyum di layar.

“Arai baik-baik saja, Ibu. Jerman sangat menyenangkan. Bagaimana kabar Bu Dini? Kalau dulu ibu tidak ada, mungkin Arai sedang bekerja di ladang sekarang.” Ujarnya sambil tertawa kecil yang disambut dengan senyum khas Bu Dini dari layar laptop.

“Cepat selesaikan skripsimu dan buat dusunmu bangga, Arai. Buat Mamakmu bangga.” Pesan Bu Dini yang disambut dengan acungan jempol dari Arai.


0 Post a Comment:

Posting Komentar