Si Jampang itu Guruku

 Si Jampang ituGuruku

 



Perjalanan Resti di bawah terik siang itu terasa sangat ringan. Dia terkenang akan pujian dan nasihat Pak Guru Sunarno ketika akan memberikannya bingkisan bersampul koran. Anak perempuan berumur belasan itu seakan lupa bahwa sawah bapaknya masih sangat jauh dan isi tas sekolahnya juga masih sama beratnya. Tidak terasa ada beban. Padahal ia masih akan menghabiskan sisa hari itu membantu bapaknya mengusir burung-burung.

Bapak anak itu keheranan melihat putrinya melompati bedeng sawah dengan begitu bersemangat. Ia bahkan sampai takut anak itu terjatuh dan terhempas ke tanaman padi yang sudah menguning. Sengaja dihentikannya pekerjaannya demi menengoki anak semata wayangnya itu. Resti melambai-lambaikan bingkisan sambil berteriak-teriak memanggil bapaknya.

“Dari Pak Guru Sunarno, Pak!” katanya tanpa basa-basi. “Aku akan mewakili sekolahku untuk lomba cipta puisi,” lanjutnya dengan napas tersengal.

Bapaknya semringah. “Ayo duduk dulu, Nak. Ke sini, ke sini..”

Mereka berdua sudah duduk di pondok. Resti yang sudah tak sabaran, membuka bungkus koran cepat-cepat. Matanya semakin bersinar. Bapaknya juga ikutan.

Habis Gelap Terbitlah Terang, Armijn Pane..” katanya sambil menunjukkan buku itu pada bapaknya. Tulisan Pak Guru Sunarno yang tegak bersambung terpampang di halaman awal. Membaca membuatmu tumbuh, Nak! Jangan berhenti.

“Bapak bangga padamu..” ucap bapaknya tanpa lupa meninggalkan kecupan di kening anaknya. Resti memeluk buku barunya seperti sedang memeluk sebuah mimpi.

Pak Guru Sunarno lagi-lagi jadi bahan omongan di kampung. Lantaran ia tidak memberikan iuran desa seperti bulan-bulan sebelumnya. Ia terkenal paling sering mendebat kepala desa dalam rapat warga. Orang-orang tahu, Pak Guru Sunarno adalah orang yang idealis, yang berani menolak apa saja program desa yang menurutnya tak begitu berguna, hanya membuang-buang uang. Tidak ada yang suka berteman dengan Pak Guru di kedai kopi. Padahal ia tahu, orang-orang itu juga yang suka mengatai sang kepala desa di belakang.

Mata sebelah kiri Pak Guru Sunarno tak berfungsi. Karenanya, orang-orang menambah sematan padanya sebagai si Jampang keras kepala. Tidak ada yang begitu mencolok dalam kehidupannya. Keluarganya sangat sederhana. Namun begitu, ia bukan orang yang tidak mampu membayarkan iuran desa. Anak-anaknya jadi potret kesuksesan keluarga itu. Dari semua penduduk di desa, hanya keluarga Pak Guru Sunarno lah yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.

Resti tidak ambil pusing pada omongan orang-orang mengenai Pak Guru Sunarno. Dia hanya tahu bahwa gurunya itu sudah dianggap guru tertua dan paling berpengaruh. Setiap bulan Pak Guru mewajibkan anak didiknya membaca buku lalu menuliskan rangkuman. Banyak yang tidak menyukai hal itu. Memberatkan kata sebagian. Sehingga banyak pula yang mulai mengatai Pak Guru, si Jampang pemaksa.

Sejak Resti dipilih mewakili sekolah mengikuti lomba cipta puisi, ia banyak menghabiskan waktu duduk menghadap surau. Sambil terkenang nasihat-nasihat Pak Guru. Diambilnya kertas dan mulai mencorat-coret. Diciptakannya larik demi larik, sesekali ditatapnya puncak surau, sesekali ditatapnya ke arah langit.

Tiba saatnya bagi Resti membacakan puisi hasil pergulatannya di depan juri. Lapangan kantor kecamatan itu sangat ramai. Para perwakilan ditemani bapak-ibunya. Semuanya dielu-elukan dengan semangat yang tiada tara. Dan Resti membayangkan bapaknya sedang menyemangatinya bersama bulir-bulir padi.

Kusam warna seragamnya. Dan tatkala ia memandang ke arah mata-mata manusia yang memandanginya, ia hampir merasa ditarik ke ruang gelap bernama ketidakpercayaan diri. Tapi ia ingat puncak surau, ia ingat ujung langit, ia ingat kemahabesaran Tuhan. Dibacanya sajak-sajaknya dengan penekanan. Seolah-olah sedang bicara pada Tuhan agar negerinya diberi kedamaian di dalam perbedaan. Agar negerinya melimpah bulir padi dan kapasnya.

Lapangan itu hening. Pengeras suara berdamai dengan pembawaan Resti. Alam menyahutinya dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Sampai-sampai suasana tampak terlena dengan semuanya. Beberapa detik setelah puisi untuk negeri itu berhenti, salah seorang juri mengacungkan tangan.

“Saya merasa pernah mendengar puisi seperti ini. Apa benar kamu sendiri yang menciptakannya, Nak?”

Resti merasakan kakinya lemah sampai mundur selangkah. Dia mengangguk. Dia pikir dirinya akan menuai pujian seperti perwakilan lainnya.

“Apa benar kamu sendiri yang menciptakannya?” juri itu mengulangi.

Resti, antara takut dan merasa sendiri, mengangkat mikrofon dan menjawab, “Ya Pak, saya sendiri yang menciptanya.”

“Benar kamu tidak mencontoh karya orang lain?”

Resti mengangguk lagi.

“Kamu suka membaca, Nak?”

“Ya, Pak..” suara Resti melemah.

“Apa mungkin itu pernah kamu baca dalam buku entah siapa?”  Resti menggeleng.

Ia rasai matanya sudah hampir penuh dengan air yang hampir membobol. Sesaat kemudian para juri itu sibuk berdiskusi. Mata-mata yang awalnya memandangi dengan haru, mulai berbisik-bisik pelan. Resti menunduk. Ia tak kuasa lagi menahan pedih di matanya. Hampir tidak ada perwakilan yang mengalami apa yang dialaminya.

“Begini, Nak,” juri itu melanjutkan, “Kami harus memastikan puisi ini benar ciptaanmu atau tidak. Jadi..” Seseorang tiba-tiba bangkit berdiri di antara keramaian. Ia mengacungkan tangan, meminta izin berbicara.

“Pak Guru..” ucap Resti lirih, hampir tak terdengar meski pakai pengeras suara. Pemandu acara mempersilakan.

“Dewan juri yang terhormat, maafkan saya yang lancang berbicara. Saya tidak menemui kebohongan di diri anak ini. Ia adalah murid saya. Bahkan jika ia bukan murid saya, saya akan membelanya. Bukankah tulisan disebut jiplakan ketika ia disadur mentah-mentah baik isinya, pikirannya, bahasanya, tanda bacanya?”

Ia berdehem lalu melanjutkan, “Jika dewan juri yang terhormat pernah mendengar puisi seperti ini, bukankah memang ide yang sama bisa lahir di mana saja, di kepala siapa saja, dan di waktu kapan saja? Apakah jika suatu tulisan menceritakan hal yang sama, maka serta-merta ia disebut jiplakan?”

Banyak orang mengangguk-angguk.

“Namun, mari tepiskan semua anggapan itu. Apakah dewan juri tak dapat merasakan isi hati terjujur anak ini yang seperti sedang bicara pada negerinya? Tak apa jika ia tak juara, karena bagi saya, ia sudah berhasil bicara hati ke hati kepada negeri ini.”

Lapangan seketika riuh dengan tepukan tangan. Resti yang tak percaya Pak Guru Sunarno menghadiri lomba, segera meletakkan pengeras suara lalu bergegas turun dari pentas. Berlari-lari seperti caranya melompati bedeng sawah. Ia berdiri di hadapan Pak Guru Sunarno, mencium tangannya dan memeluknya seperti memeluk bapaknya.

“Apa ini yang kamu dapat dengan memandangi puncak surau, Nak?”

“Bukan hanya surau, Pak. Saya juga memandang langit dan melihat kemahabesaran Tuhan.”

Pemenang lomba diumumkan. Resti menyabet juara pertama sekaligus penghargaan sebagai perwakilan yang paling menginspirasi. Diangkatnya piala tinggi-tinggi lalu meminta izin pada pemandu acara untuk menyampaikan terima kasih.

“Bapak guruku sering dipanggil si Jampang keras kepala, si Jampang pemaksa. Hanya karena sebelah matanya tak sebaik mata yang lain. Namun bagi saya, ia bisa melihat dunia dengan luas. Dan saya ingin seperti dirinya. Terima kasih, Pak Guru..”

Lapangan kantor kecamatan itu semakin ramai lagi karena sorakan dan tepuk tangan.

“Mari, Bapak antar pulang, Nak. Kamu sudah berjuang dengan baik hari ini.”

“Tapi saya masih harus ke sawah, Pak.”

Pak Guru mengangguk dan tersenyum lebar. Di belakang vespa tua Pak Guru, Resti menambah sematan pada diri Pak Guru Sunarno, si Jampang penyelamat.

Perjalanan hari itu menjadi sangat ringan walaupun Resti masih harus menghabiskan sisa harinya membantu bapaknya mengusir burung-burung. Ia sudah tak sabar memamerkan piala itu dan membuatnya bapaknya bangga lagi.

Di jalan setapak di dekat sawah, Pak Guru Sunarno menghentikan vespanya. Bapak Resti melihat dari jauh anaknya menenteng piala. Pak Guru Sunarno melambaikan tangan pada Resti dan berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Ia bahagia dalam hatinya, telah sedikit membantu Resti memeluk mimpinya.

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar