Si Begundal dan Malaikat di Ruang BK

 Si Begundal danMalaikat di Ruang BK 


Rasanya meja kaca, sofa tua, jam dinding, bahkan cicak-cicak di dinding sudah bosan melihat sosoknya bolak-balik, keluar-masuk ruangan itu hingga empat kali dalam sebulan belakangan. Berarti bisa disebut tiap pekan selalu ada kasus atau keonaran yang dibuatnya. Keberadaan bu guru cantik demikian siswa begundal itu menamai seorang perempuan muda yang baru-baru ini menjadi pengganti guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolahnya, membuat si begundal semakin tak kapok-kapok. Bahkan, dalam amarahnya yang masih menyala kali ini, ia tak merasa keberatan saat dipanggil ke ruangan itu.

Bocah ini wajahnya masih merah padam dengan kedua alis bertaut dan bibir monyong. Ditenggaknya buru-buru segelas air putih yang disodorkan bu guru sambil mengatur napas. Demi melihat paras ayu di depannya, gemuruh di dadanya sedikit mereda. Sebagai seorang pria yang (merasa) sudah beranjak dewasa, wajah ayu di hadapan tak ia pungkiri menggetarkan hati.  Kali ini keributan yang ia ciptakan bukan sepenuhnya perkara sengaja.



“Beraninya ketua kelas sialan itu mencak-mencak menagih uang kaos olah raga. Buta ya matanya. Seragam putih tua saya ini saja lungsuran bekas tetangga. Salah Bapak saya pula kenapa miskin. Orang tua itu memang gak ada otak, sudah tahu melarat masih banyak gaya memasukkan anaknya ke sekolah sok elit begini. Sudah kubilang sampai berbusa, pindah saja ke sekolah negeri di kecamatan situ. Gratis. Keras kepalanya melebihi batu kali. Dikata ia mampu lah, demi anak satu-satunya lah. Halah.”

Pendingin ruangan masih berfungsi normal, tapi panas di ubun-ubunnya begitu membara. Tangan dia menunjuk-nunjuk ke udara, kembali berapi-api. Matanya mengarah sejenak pada bu guru, menerka-nerka kejutan apa lagi yang akan ia terima setelah kejutan pertemuan pertama mereka suatu waktu.

Suatu siang yang lembap, si begundal melangkah gontai ke ruangan dalam rupa sangat kacau. Kemeja putih dan dan celana abu-abu rombeng yang ia kenakan penuh bercak lumpur, tanah, dan sedikit darah. Sial. Kebut-kebutan di bawah hujan barusan membawanya dalam petaka. Bukan, bukan petaka jatuh terseret hingga baju rombengnya koyak dan badan luka-luka. Bukan pula kesialan karena perih dan ngilu hasil jatuh tadi. Melainkan bapaknya yang cuma kuli serabutan itu pasti tak mampu mengganti biaya kerusakan motor temannya yang anak seorang juragan kelapa sawit.

“Mampus kau, Bodoh. Jual sajalah sebelah ginjalmu untuk ganti motor ini,” Suara di dalam kepala mengutuk-kutuk dirinya yang ia rasa memang telah terkutuk apes dari lahir.

Tak sampai di sana saja kemalangan si begundal, beberapa detik lagi ia harus pasang penangkal petir di telinganya demi mendengar semprotan ceramah guru BK, seperti yang sudah-sudah. Ditambah pula kesalahan yang tercipta kali ini berkali-kali lipat: kabur dari sekolah, kebut-kebutan di jalan raya, sudah itu ketahuan. Satu lagi: bapaknya orang susah. Rentetan petuah sampah katanya, setelah ini, akan segera berebutan masuk telinga kanan, lalu berdesakan keluar lagi lewat yang kiri.

Namun, pemandangan di balik pintu Ruang BK yang ia masuki kali itu agak berbeda. Terkejut ia, terheran-heran manakala seorang perempuan muda yang menyambutnya dengan menyodorkan sehelai handuk bersih dan satu stel pakaian pria.

“Silakan ke kamar mandi dan bersihkan badanmu. Juga luka-lukamu itu.”  

“Menarik juga perempuan ini”, pikirnya.

Usai bebersih diri, ia disilakan duduk di sofa tua. Di meja kaca sudah tergeletak sebuah kotak P3K se-isinya.

“Sudah besar, kan? Oh tentunya sudah, ya. Sudah berani ambil risiko besar, kok.” Hening.

Tangan perempuan itu cekatan membuka kotak dan mengeluarkan isinya; pembersih luka, kapas, kain kasa, plester, dan gunting kecil.

“Bersihkan lukamu sendiri ya. Jangan dibiarkan. Bahaya, bisa infeksi.”

Percakapan satu arah ini membuat si begundal sedikit bingung dan mati gaya. Dirinya tak diceramahi, tidak pula diberi kesempatan bicara.

“Saya guru BK yang baru. Sudah tahu, kan, guru BK senior pensiun tempo hari. Banyak tentangmu sudah saya dengar dari para guru. Kata mereka, ini mungkin pelanggaranmu yang ke-seribu. Tak masalah. Saya bahkan pernah menangani yang pelanggarannya seribu-satu.” Senyum teduh terpancar.

“Soal motor, jangan dipikir. Setelah saya telepon untuk konfirmasi, Juragan sawit itu ternyata baik hati. Tidak ada tuntutan. Malah menegur anaknya kenapa motor bagus begitu dipakai main-main melanggar aturan.”

Selagi menahan perih karena sentuhan alkohol yang diusapkan pada luka di lengannya, si begundal terhenyak. Persoalan motor selesai. Artinya ia tak jadi jual ginjal untuk ganti rugi. Dalam hatinya yang jarang bersyukur itu, ia memuji tuhan. Masih dalam diam.

“Tapi bukan berarti semuanya selesai, Nak. Lelaki harus bisa bertanggung jawab.”

Setelah itu, seperangkat alat kebersihan dihibahkan khusus untuk dirinya; satu set sapu lidi dan pengki. Siang itu juga si begundal menyambangi halaman belakang sekolah yang ramai oleh cecer dedaunan kering dan buah ceri kecil-kecil di tanahnya. Dimulailah kegiatan menyapu sebagai ganjaran atas ulahnya kali ini. Srak srak srak. Agak terkejut hatinya menyadari ternyata ada orang lain di sudut lain halaman ini.

“Oi, Pak”  Seorang kakek terbungkuk-bungkuk merapikan gundukan sampah di pojokan. Susah payah ia menoleh, tanpa menjawab sahutan tadi. Pakaiannya seragam abu-abu lusuh dengan punggung bersablonkan huruf-huruf kapital P-E-T-U-G-A-S K-E-B-E-R-S-I-H-A-N yang sudah banyak pudar.

“Oi, Pak, setiap hari kerjamu begini-begini saja? Membosankan sekali. Rupamu mengingatkanku pada bapak, orang miskin yang banyak gaya menyekolahkan anaknya di sini. Malangnya nasibku menjadi anak dia. Orang miskin pada akhirnya hanya melahirkan generasi miskin dan brutal sepertiku ini, kan?

Tahu tidak, hari ini kesialanku bertubi-tubi. Ralat. Tidak hari ini saja, setiap hari bahkan. Teman-teman tengikku selalu cari ribut, merendahkan. Memangnya tampangku ini tampang rendahan, apa?

Aduh, masih ngilu pula lenganku ini disuruh nyapu. Nah, Pak, tapi aku lelaki, masih punya harga diri. Mau menindasku, kulindas balik mereka. Kuberi pelajaran sekalian biar wajah dan bibir mereka yang congkak itu jontor makan bogem mentahku.”

Pak tua tak menggubris. Tangannya masih telaten menyiangi rerumput liar, menumpuknya di gundukan sampah yang kini dibakarnya hingga berasap dan berapi. Hanya sesekali matanya melirik, sebagai bentuk menyimak cerita anak muda kebakaran jenggot ini.

“Tapi, Pak, tahu tidak, sepertinya Tuhan lagi sedikit baik. Sedikit tidak pelit, menurunkan malaikatnya dari langit.  Kau tahu bu guru muda cantik penguasa Ruang BK sekarang, Pak? Alamak, dialah malaikat yang kubilang. Sudah cantik, baik, tampak sekali orang yang terdidik. Tekniknya menghadapi begundal sepertiku ini sungguh elegan, di luar dugaan. Ini pertama kalinya kudengar tutur santun setelah entah berapa lama. Damai rasanya kuping ini tak harus kemasukan kalimat marah-marah seperti yang selalu dilakukan nenek lampir penunggu ruangan itu sebelumnya.

Kuterka guru cantik itu lulusan psikologi dari kampus bergengsi. Pasti dari keluarga mapan berpendidikan tinggi. Senang betul punya orang tua kaya. Pasti bangga sekali mereka, anaknya berhasil terdidik jadi wanita berhati lembut, pengasih-penyayang. Betul-betul macam malaikat dari surga.”

Pak tua meluruskan punggunya. Menoleh, masih tanpa suara. Mungkin hanya pegal-pegal. Entahlah.

“Ah, sudahlah. Meracau pada orang tua memang tidak ada gunanya.”  Didiamkan sedemikian rupa, si begundal akhirnya jengah juga.

… Pendingin ruangan masih berfungsi normal, tapi panas di ubun-ubunnya begitu membara. Tangan dia menunjuk-nunjuk ke udara, kembali berapi-api. Matanya mengarah sejenak pada bu guru, menerka-nerka kejutan apa lagi yang akan ia terima setelah kejutan pertemuan pertama mereka minggu lalu.  

Kali ini senyum teduh lagi, dan sebuah rantang yang harumnya menyeruak keluar. Sepertinya sesuatu dengan kuah rendang. Rasa lapar tiba-tiba menggelitik perutnya.

“Makan siang ini, tolong berikan pada ayah saya. Sampaikan salam saya padanya yang telah banyak berkorban, menempa saya dengan sabar, sehingga saya mencapai titik ini, mampu mendidik murid-murid dengan benar. Beliau setiap hari di halaman belakang sekolah, nyapu-nyapu.

Si begundal terperanjat. Rasa malu dan tak percaya seketika bersusul-susulan menyerang dasar hati si begundal yang terdalam. Pikirannya kalut. Logikanya tak terima. Bagaimana mungkin kakek sapu yang dijumpainya minggu lalu beranakkan bu guru cantik nan bersahaja di depannya ini.

Semakin dipikir semakin pening. Kalimat halus bu guru seolah menamparnya, bahwa bahagia adalah saat memiliki sesuatu yang tak dapat dibeli dengan harta; cinta dan pengorbanan seorang bapak misalnya.

Bayang bapak yang letih, penuh peluh, dan petuah-petuahnya yang keras kepala berkejaran di pelupuk mata. Disusul kelebat caci-maki yang baru saja dan sering kali ia lontarkan tentang bapak.

“Bu, permisi, saya ingin pulang bertemu bapak.”

Si begundal segera menghambur ke luar. Rantang isi rendang pun akhirnya ditinggal.

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar