Sepenggal Memori Meri

 Sepenggal MemoriMeri


Riuh. Gemuruh. Tiap langkah kakiku terasa berat meluruh. Puadai merah yang kuinjak bahkan tampak mengeluh. Akhirnya aku sampai Jib dan duduk saat disuruh, “Pokoknya tunggulah di sini ya, Mba!” kubalas ia Jib dengan senyum hingga seruh. Ia pergi membawa segala yang tampak keruh bagi alam pikiranku yang berusaha bekerja menyeluruh. Positif. Mungkin ia hanya kurang responsif. Aku tersenyum pasif, Jib. Mungkin kau bisa melihat gigiku kembali mengintip. Ah, kuhirup dalam-dalam udara sejuk ruangan raksasa ini. Sungguh ajaib, aku benar-benar berada di sini, Jib! Selongsong terowongan waktu pun berputar-putar di hadapanku, menarikku kepadamu... Jib...



“Ibu tak mau antarkan tak apa, biar saya saja,” katamu, “setiap hari akan saya jemput.“

“Anak ini percuma saja disekolahkan, Pak! Lagipula sekolah itu kan mahal, saya rugi keluar biaya hanya untuk anak macam ini. Sia-sia!” teriak ibu kepadamu, Jib.

“Sekolah ini semuanya gratis, Bu. Jadi tenang saja ya, Bu,” jawabmu lagi.

Kujelau, Ibu membeku sejuta kata dan akhirnya kau berhasil membawaku menuju sekolah buatanmu, Jib. Dengan motor bututmu yang disambungkan gerobak di belakangnya. Gerobak dari papan kayu gelap disertai roda di kanan dan kirinya ini seperti kereta mini, kau angkut aku beserta anak-anak lain yang bernasib sama sepertiku. Melewati jalanan tanah tak rata yang kadang kala berlumpur tatkala hujan menyapa. Menjejak dari satu desa ke belasan desa-desa lainnya. Sehingga bukan kau yang didatangi, malah kau yang rela sonder pamrih berburu murid baru. Sambil merayu sekian banyak orang tua yang menolak keras anaknya tuk bersekolah. Tanpa keluh dan lelah, kau tak mau kenal kata kalah.

“Hey, sudah gila kau ya itu kan cuma buang-buang waktu. Dasar kurang kerjaan!”

“Mau-mauan ya, padahal imbalannya saja tidak ada seratus ribu per bulan, heran!”

Begitulah, Jib, ucapan orang-orang desa sepanjang jalan setiap kali kau dan gerobak motormu yang mengangkut aku beserta anak-anak ini berjalan melewati mereka. Ya. Desa Mejanti di Kecamatan Ranti Kabupaten Riau ini harus menanti perubahan pola pikir tiada henti dari warganya yang berhati mati. Desaku yang terpelosok ini berlokasi di sebuah pulau yang ada di Semenanjung Selat Malaka, jauh dari titik mapan apalagi terdepan. Tempat kelahiranku yang juga entah memajunya mengetuk kapan. Sampai membuat asamu bergerak spontan Jib, tuk mendirikan sekolah kecil tak jauh dari rumahmu di tengah hutan, satu-satunya tanah kosong yang bebas hujatan tuk kau gunakan tanpa rentan yang tentu saja akan selalu kau lantan.

Hanya beratapkan seng bekas dan berdindingkan papan, Sekolah Luar Biasa berukuran 10 x 5 meter itu berhasil kau dirikan dengan jenjang pendidikan dari SD hingga SMA. Meski belajar dengan beralaskan tikar dan fasilitas sekadar, tak menyusutkanmu mengajar anak-anak luar biasa demi ketertinggalan yang harus dikejar. Masih ingatkah kau padaku Jib? Meri Si Tunagrahita, murid pertamamu sebelum puluhan siswa-siswi lain mengisi data absensi. Akulah Meri yang telah memberi bibit sabar yang tiada jeri tumbuh subur dalam dirimu, katamu.

“Pak Jiib...braaann. Ayo coba lagi,” ucapmu Jib, saat awal kau ajari aku waktu itu.

“Jiiiiibbb.... Jii... Jiiiiib...” jawabku terbata-bata sambil mengorek-ngorek anyaman tikar kelas sampai terkelupas, “Jiiiib! Jib! Jib-Jib!!” ucapku lagi dengan berteriak berkali-kali. Hingga sudah besar pun aku bahkan masih saja memanggilmu “Jib”. Jika ada orang yang menanyakan alamatku, nama ibuku, atau namaku maka jawabannya sama semua karena aku hanya bisa mengucapkan “Mehi” saja. Jib, kau membuatku bisa berbicara setelah 2 tahun kemudian. Terapi-terapi yang kau selipkan dalam mendidikku membuatku tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Kini bagaimanakah kabarmu? Sekarang aku di sini Jib, Jakarta. Kau tahu? Memiliki anak usia SMA tapi masih di SLB adalah aib bagi Ibu, Jib. Ya, Ibu telah mengusirku.

Masih hanyut menyelami samudra memori, tiba-tiba aku mengganjur napasku ketika terdenging suara gelatak ibu, “Anak menyusahkan! Makan saja masih berantakan!” Ibu membereskan makananku, saat itu aku masih SD, otakku belum mengerti benar apa maksud Ibu, “apa saja sih yang kamu pelajari di sekolah itu? Benar kan, percuma saja orang sinting itu mengajarimu!” belu-belai Ibu lagi. Kalakian aku berlari ke luar rumah menunggu kau datang menjemputku Jib. Betapa lengar kepalaku menjadi wadah Ibu membuang cuanya.

“Loh, Meri kok belum pakai seragam?” tanyamu Jib setelah sampai di depan mataku. Tanpa bicara lagi kau angkat aku yang belum mandi ini ke dalam gerobak motormu. Mungkin kau takut membuat murid lain menunggu. Tak lama ibuku pun muncul membawa arit.

“Mana sempatlah aku urus dia! Aku harus ke ladang untuk bekerja!” jawab Ibu, ketus.

“Meri bodoooh! Meri bodoooh! Hahaha,” gelegar tawa Nea dan beberapa anak desa lainnya yang tengah berjalan kaki menuju sekolah normal mereka seraya bertepuk tangan mengejarku yang berlalu di atas gerobak motor. Kau tahu, Jib? Aku ikut bertepuk tangan dan menaruh senyum pada mata mereka, karena apa yang mereka katakan memang benar, Jib. Jib, sebenarnya setiap hari di kelas saat aku SMA dulu, aku banyak membentang renung. Apakah tunagrahita sepertiku lebih buruk nasibnya daripada Anak Berkebutuhan Khusus lain, Jib? Tunarungu bisa pintar meski sulit mendengar. Tunadaksa bisa lebih pintar lagi meski dalam keterbatasan fisiknya. Tunanetra apalagi, jelas matanya yang tidak mampu melihat itu tak akan pernah mempengaruhi kecerdasannya. Semua bisa mengungguli diriku Jib, jika mereka kau tempa dengan terapi, curahan kasih tiada tepi dan semangat pendidikan yang berapi-api. Aku? Aku selalu saja slow learner, terlalu imbesil alhasil aku sulit berhasil.

Kutoleh Frea, ingatkah kau padanya Jib? Dahulu tunarungu itu selalu naik ke atas meja barunya di setiap jam pelajaran saat pertama kali sekolahmu yang luar biasa ini mendapat bantuan operasional 5 juta rupiah. Ah, bukan dari pemerintah daerah namun dari relawan berhati mulia. Dan ingatkah kau pada Bema? Tunalaras satu itu selalu menendang pintu dan bangku kelas keras-keras. Dan ingat pulakah kau pada Zika, Jib? Seorang tunaganda yang selalu rela kau bantu melepaskan sepatu dan celananya setiap kali ia ingin ke kamar mandi, bahkan kau bersihkan pula sisa kotorannya usai ia buang air besar. Kini, mereka tak lagi seperti itu, Jib. Sama sepertiku, kami sudah bisa lebih mandiri di jenjang SMA ini. Suatu hari...

“Jib, Frea bisa membuat busana cantik, Bema jago renang, Zika jago menggambar. Sedangkan aku?” keluhku padamu tanpa malu, “aku tak mau jadi benalu,” tambahku, terpilu.

Kau usap kepalaku seraya berkata, “Walaupun punya kekurangan, bukan berarti kamu bodoh. Tidak bisa bukan berarti 'mati', lambat bukan berarti terlambat,” dan kau pun tersenyum. Senyummu itu Jib, mengarsir senyuman pula di layar wajah gugupku. Meletupkan kepercayaan diriku yang sangat tegang di saat-saat seperti ini. Seketika aku seperti terbang, menjauhi pusaran waktu yang kian mendorongku ke tempat dudukku semula. Menyadarkanku bahwa ruangan sejuk nan megah ini masih ada dan mengeratkan pelukan antara kedua telapak tanganku dalam kemantapan hati yang tertegak, kepalaku pun berani kudongak.

“Meri Marianaaaa....!!!” teriakan pemandu acara itu telah meleburkan perbincanganku dengan memoriku sendiri. Aku benar-benar terkesiap, benar-benar tidak mengikuti jalannya acara ini sampai namaku disebut seperti itu, “Meri Mariana silahkan naik ke atas panggung tuk menerima penghargaan Tunagrahita Terhebat 2018. Di mana dengan nilai IQ 70 namun Meri berhasil menyelesaikan beasiswanya hingga S2 bahkan tak sempat bermain dengan temannya karena selalu semangat bertanya dan mengulang-ulang pelajaran yang tidak ia mengerti.”

Jib, ruangan raksasa yang dingin ini benar-benar menggaungkan namaku, Jib. Seorang wanita yang mengantarku tadi datang lagi untuk membimbingku ke atas panggung, kali ini dia memberiku senyum yang berbeda Jib, senyum yang tulus. Setapak demi setapak, kakiku gemetar melangkah, sorak-sorai dan tepuk tangan mengiringi jantungku yang merekah. Kujelang puadai merah ini seolah membantu mengarakku tanpa lelah. Hingga sebuah mikrofon itu tepat di depan bibirku yang kering tarah. Oh, apa yang harus aku katakan, Jib?

“Hmm.... Aku bisa sampai di sini bukan karena aku pintar. Bukan,” ujarku, Jib, di depan jutaan mata, “tapi ada seorang pahlawan yang mengubah kehidupanku menjadi secemerlang sekarang,” tiba-tiba panah mataku menemukan sosok Jib di antara penonton yang duduk di barisan depan. Jib? Benarkah itu kau? Benar itu kau, Jib? Jib?! “Tanpa dia yang mendorongku untuk tetap sekolah dengan gerobak motornya mungkin...,” lanjutku namun mataku tak berkedip melihatmu melambaikan senyum ke arahku, “mungkin aku masih dijuluki Si Bodoh dengan Ibu kandungku yang hampir melupakan aku,” I... Ibu??! Aku melihat Ibu tergesa-gesa menyelinap di antara penonton ke arah Jib! Ya Tuhan ada apa ini? Halusinasiku sajakah ini?

“Ibu,” aku berusaha melanjutkan pidatoku tapi mataku terheran-heran melihat Ibu dan Jib di ujung sana, “Ibu... dengan Meri di sini... Meri sudah membuktikan bahwa Jib... tidaklah gila. Bahwa karena Jib... yang sayang padaku saat Ibu dan semua orang... menolak kehadiranku, aku bisa meraih S1 dan S2-ku... di kota ini,” ucapku dengan sedikit tersendat, air mataku perlahan jatuh Jib, lihatkah kau? Ibu, lihatkah? “Ibu... aku akan kembali ke rumah... membawa gelarku ini untukmu. Dan... penghargaan ini akan aku berikan untuk Jib, guruku, pahlawan tanpa tanda jasa sejatiku yang sebenarnya,” ucapku di akhir kata, Jib, “Terima kasih.”

Diiringi tepuk tangan penonton, aku langsung berlari kencang menuruni panggung dan membuat semuanya terbengang. Tapi air mataku yang terlempar ke udara saat aku berlari itu menjawab lingkaran tanya se-aula. Aku terus berlari dan ketika kedua sosok itu hanya tersisa selangkah saja dariku, aku langsung lompat memeluk Jib, “Paaak...!” dan untuk kali pertama aku memanggilmu dengan benar, Jib, “Bapak di sini? Huhuhu, Pak Jibraaaaan...!”

“Nak,” kau menghapus air mataku, “berita tentangmu akan ada di sini itu muncul terus di koran. Bapak terkejut bahagia sehingga Bapak langsung ajak Ibumu ke sini yang awalnya enggan ikut. Kami baru saja sampai, Nak,” pelukanmu padaku pun kau lepas, “ayo, peluklah juga Ibumu,” pintamu. Membuatku langsung menoleh ke arah Ibu yang terisak dengan air mata berhamburan tak beraturan di wajahnya yang kini penuh dengan kerutan gulana.

“Maafkan Ibu, Nak! Maafkan Ibuuuu huhuhu...,” Ibu langsung erat memelukku. Oh, aku sangat merindukan pelukan hangat ini. Tak akan aku lepas, Bu! Aku tak peduli lagi dengan acara ini dan tak peduli cahaya lampu kamera berebut mengerumuni.

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar