SECANGKIR KOPI HITAM
|
Pagi mendung
awan kelam menggantung. Angin mendesir. Daun-daun kering tak sanggup bertahan,
lepas dari tangkai, berayun, jatuh lalu terbentur batu dan tanah. Dari jendela
tak berkaca ia terus memandang. Mata lelaki tua yang sudah kusam dengan
pandangan buram. Meskipun demikian matanya tak rela diam. Ia tetap menatap ke
depan. Dibiarkannya angin memainkan rambut putihnya yang sedikit bergelombang.
Sesekali ditatanya rambut itu agar tak ikut menghalangi pandangan. Ia
tersenyum. Entah ingatan apa yang membuatnya seperti itu. Gerimis jatuh. Suara
hela napasnya perlahan hilang dikalahkan suara hujan.
“Hujannya
semakin deras, Pak,” seorang wanita yang hampir sebaya muncul dari dalam
membawakan secangkir kopi hitam panas. Aromanya begitu menyengat buyarkan
lamunan lelaki tua.
“Tahu saja Ibu
ini,” dilepaskannya sedikit senyum untuk wanita yang telah menemaninya puluhan
tahun itu. Senyuman penuh arti. Senyuman ikatan keharmonisan mereka berdua yang
tidak perlu diragukan lagi. “Dapur kita bocor lagi, Bu?”
“Sudah enggak,
Pak. Bapak hebat.”
“Syukurlah,”
lelaki tua itu menganggukkan kepala penuh kepuasan sambil menyeruput kopi yang
asapnya tampak jelas melawan hawa dingin. Dirasakannya tegukan pertama. Wajah
lelaki tua itu tampak heran. Panas yang mengalir hingga ke lambungnya terasa
begitu nikmat. Jemari lelaki tua tidak langsung meletakkan cangkir itu kembali
ke meja. Diarahkan lagi bibir cangkir itu ke bibirnya. Ada nafsu yang tidak mau
dilewatkannya dari aroma dan nikmatnya kopi pagi ini.
“Kopi ini
kenapa jadi enak begini, Bu? Tidak biasanya.”
Istrinya hanya
tersenyum dan mulai membereskan buku-buku yang bergeletakan di atas meja dan
kursi. Lelaki tua itu tidak mau nenunggu lama jawaban istrinya. Kembali ia
pandangi luar jendela. Desut angin, desau dedaunan, keriang-keriut pohon bambu,
dan detap air hujan di atas genting menjadi simfoni maha karya agung sang
pencipta. Sesekali dirasakannya tempias menerpa wajahnya. Namun semua itu
semakin meyakinkan lamunannya pada cerita secangkir kopi.
***
“Pak Dirman!
Pak Dirman!” dua orang anak murid tergopoh-gopoh mengejar Pak Dirman yang baru
saja memasuki gerbang sekolah. Napasnya terengah-engah.
“Ada apa, Di?
Ada apa, Wan?”
“Memet.. Memet,
Pak! Memet babak belur, Pak!”
“Memet
berkelahi sama Jamal! Tolong, Pak. Cepat, Pak!” ucap Wawan menegaskan apa yang
disampaikan Didi.
“Hahh! Jamal?
Jamal lagi? Ayo cepat!” dituntun sepedanya sambil berlari menuju ke tepat
kerumunan.
“Awas! Awas!
Awas, hoi! Ada Pak Dirman.” Seketika terbuka jalan meski sesak Pak Dirman terus
menuju pusat perkelahian. Tampak Memet dan Jamal tengah berguling-guling saling
mengunci lawannya. Sayup-sayup terdengar suara yang menyesalkan kehadiran Pak
Dirman. Pertunjukan tentu akan segera berakhir.
“Berhenti!
Sudah, Mal, Met!” Pak Dirman berusaha menarik dan melepaskan kepitan siku
tangan Jamal di leher Memet. “Jaammaallll!” teriakan Pak Dirman membuat suasana
langsung hening.
Memet dan Jamal
di bawa Pak Dirman ke ruang guru. Pak Dirman mencoba menenangkan dirinya.
Keringatnya tampak bercucuran. Dicobanya menyeruput kopi yang sudah disediakan
Mang Endin setiap pagi. Namun tidak jadi. Kopi itu masih terlalu panas. Jamal
dan Memet berdiri di depan meja menghadap Pak Dirman. Di jendela, kerumunan
murid masih menantikan akhir cerita perkelahian Jamal dan Memet. Suaranya riuh.
Wajah Memet meringis menahan sakit. Wajahnya merah dan lebam dibeberapa bagian.
Jamal dengan lagak jagoan masih bersiap dengan kepalan tinju di kedua
tangannya. Jamal belum puas. Pak Dirman dapat menangkap gelagat Jamal.
“Hei, Jamal
….!”
“Huuakkk!
Huuah! Jamal kembali menyerang Memet. Gerakannya begitu cepat. Pak Dirman belum
sempat bangkit. Gerakan Jamal menabrak meja kerja Pak Dirman dengan kencang.
“Prangkk!”
gelas kopi panas tumpah dan mengarah tepat ke badan Pak Dirman. “Aaaahhhhh!!”
Pak Dirman memekik ditahan. Wajahnya menahan sakit. Panas seakan menjalar ke
seluruh tubuhnya. Baju putihnya ternoda air dan ampas kopi. Pak Dirman langsung
bergerak ke luar. Memet diam tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jamal mencoba
mengejar Pak Dirman. Namun baru beberapa langkah ia pun mengurungkan niatnya.
Kali ini ia benar-benar ketakutan.
***
Pagi-pagi Jamal
sudah duduk di depan ruang guru. Penyesalan terus terngiang di kepalanya. Ia
menantikan kedatangan Pak Dirman yang sejak kejadian kemarin belum kembali ke
sekolah. Biasanya Pak Dirman sudah datang pagi-pagi dengan sepeda ontel Venno
kesayangannya. Jamal dapat membayangkan bagaimana lincahnya Pak Dirman
memainkan sepeda itu. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi namun tetap dapat
dengan cekatan turun dan naik melewati besi melintang bawah jok. Perlahan-lahan
sepeda dikayuh lewati jarak yang cukup panjang. Wajah Jamal seketika meringis
ingin menangis membayangkan sepeda antik itu yang sering ia jaili.
Lonceng besi
terdengar tiga kali. Murid-murid lari berhamburan berbaris di depan kelas
masing-masing. Jamal pelan-pelan menyusup keluar sekolah lalu berlari dengan
tas yang masih diselempangkan di dadanya. Tak ada keinginan lain, Jamal ingin
cepat bertemu Pak Dirman. Dilewatinya jalanan sepi yang biasa dilalui Pak
Dirman setiap hari. Napasnya sudah terengah-engah. Tapi Jamal tidak mau
berhenti. Ia ingin menemui Pak Dirman. Sosok yang ia kagumi. Langkah Jamal
terhenti di depan rumah sederhana yang halamannya cukup luas dan bersih. Banyak
tanaman dan pohon buah. Pagar bambu mengitari sekelilingnya. Rumah kayu itu
tampak sepi. Sepeda Pak Dirman tampak distandarkan di sebelah kanan rumah.
Jamal perlahan melangkah hingga sampai di depan pintu kayu. Lama Jamal terdiam
berdiri mematung.
“Mau cari
siapa, Nak? Tiba-tiba sudah berdiri seorang ibu dibelakang Jamal. Jamal kaget
dan langsung mendongakkan kepala ke belakang.
“Assalamuallaikum,
Bu,” ucap Jamal dan langsung mencium tangan wanita itu. “Saya Jamal, Bu. Murid
Pak Dirman. Eeee…. Pak Dirmannya ada, Bu?”
Waalaikumsalam.
O, ini to nak Jamal,” wanita itu lepaskan senyum. “Bapak suka cerita
tentang kamu. Ayo silakan duduk. Ibu mau tarok belanjaan dulu ya,
sebentar.”
“Ayo, diminum
dulu. Kamu sepertinya haus sekali,” Jamal langsung menyambut segelas air putih
dari tangan wanita itu. Sedari tadi memang ia sangat kehausan. Hanya sebentar,
air itu pun habis.
“Terima kasih,
Bu.”
“Iya,
sama-sama. Nak Jamal, sebaiknya langsung masuk saja, ya. Bapak ada di kamar.
Tadi sudah ibu katakan ada kamu. Bapak senang banget. Mari!”
Jamal
mempercepat langkah nendekat lalu mencium tangan guru yang berwajah teduh itu.
Tidak cukup sampai disitu, Jamal langsung memeluknya erat.
“Bagaimana
keadaan Bapak sekarang?”
“Alhamdulillah,
sudah lebih baik. Kemarin habis kejadian itu malammya badan Bapak langsung
meriang.” Pak Dirman mengusap-usap kepala dan punggung Jamal. Air mata Pak Dirman menetes rasakan keharuan yang dalam.
Istrinya pun yang duduk di dekat kaki suaminya terharu atas kebesaran hati
seorang guru dan murid. “Nak. Bapak bangga padamu.”
“Maafkan Jamal,
Pak. Jamal banyak salah. Jamal suka melawan Bapak. Jamal suka mencelakai Bapak.
Maaf, Pak.”
“Bapak tahu apa
yang sudah kamu lakukan selama ini. Bapak selalu memaafkan kamu, Mal. Tapi hari
ini Bapak bangga padamu. Inilah pelajaran terbesar yang baru saja kamu lakukan.
Mengalahkan diri sendiri. Kamu anak baik. Semoga kamu sukses, ya Nak,” Jamal
mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali memeluk Pak Dirman. Cerita pun
berkembang dengan tawa. Jamal membongkar satu persatu kejailan yang pernah ia
lakukan baik terhadap Pak Dirman maupun teman-teman sekolahnya.
“Bu, tolong
buatkan Bapak minum, Bu. Ini ceritanya semakin rame. Hahaha….”
“Pasti kopi ya,
Pak?” Jamal mencoba menebak.
“Iya, Nak
Jamal. Bapak Itu sukanya minum kopi. Kamu mau juga?”
“Nggak, Bu.
Terima kasih.”
“Tapi awas, Bu.
Nanti ngasih ke Bapaknya hati-hati. Ada Jamal, nanti ditumpahin lagi.
Hahaha….” Jamal tersipu malu.
“Pak…,” Jamal
terdiam sesaat. Pak Dirman menatap dalam. “Suatu saat nanti, kalau saya sudah
besar, saya akan buatkan kopi paling enak untuk Bapak,” Pak Dirman
mengangguk-anggukkan kepalanya yakin. Matanya berkaca-kaca.
***
Tidak terasa
secangkir kopi telah habis. Beribu kenikmatan dirasakannya pagi itu. Cuaca
telah terang. Lelaki tua pun bangkit dari kursi tempat ia habiskan sebagian
masa pensiunnya dengan membaca dan menulis.
“Nanti sore
tolong buatkan Bapak kopi seperti tadi ya, Bu,” istrinya mengangguk senyum.
Kopi ungkapan kebesaran hati seorang murid atas sosok guru yang dapat
mengilhami hidupnya.
ooOOOoo
0 Post a Comment:
Posting Komentar