Jantungku berdebar keras sementara mataku terus melirik ke depan kelas. Setiap gerakan
Bu Saidah membuatk
u curiga. Jari jemari terasa dingin di dalam laci meja.
Mampukah aku mencontek? Beranikah aku?
“Kamu harus masuk IPA kelas dua nanti, Tari!” Tuntut ayah tiba-tiba ketika aku
melewati ruang tamu semalam, mendengung kembali di telinga. Kala itu aku hanya bisa
terdiam, memandang matanya pun aku tak berani.
“Kamu dengar kata ayah?” Suara ayah terasa menekanku.
“Iya, Ayah.”
“Ayah lihat nilai pelajaran eksakmu menurun. Apa kamu perlu ayah pindahkan ke tempat
kursus yang lebih bagus?”
Aku terdiam kembali, bingung menjawabnya.
“Pelajarannya yang tambah sulit, Ayah. Tari butuh waktu untuk mengerti materinya.”
Ayah menghela napas, “Bilang saja kalau ada yang kamu perlukan,” lalu kembali
menekuni laptopnya.
Kalimat itu menambah bebanku. Memang, nilaiku menurun semenjak masuk SMA,
khususnya untuk pelajaran eksak. Tolong jangan hakimi aku, mengatakan aku malas atau
kurang telaten. Hanya… materi yang berusaha aku pelajari seharian hingga malam itu,
membuat pusing kepalaku.
Aku hanya semakin sulit untuk memahaminya.
“Sekali lagi ibu ingatkan, jika ketahuan menyontek atau kerja sama, nilai ibu kurangi
separuhnya.” Suara rendah Bu Saidah mengejutkan, membuyarkan lamunan. Otomatis aku
memandang Bu Saidah.
Bu Saidah mengedarkan pandangannya dari sudut kelas, sebelum akhirnya kami bertemu
pandang. Wajahnya terlihat kaku, matanya tertuju lurus kepadaku.
Aku menghela nafas, mengeluarkan tangan dari laci. Pasrah, aku mulai menulis jawaban
sebisaku.
***
Istirahat kedua sedang kuisi dengan menyelesaikan gambar untuk tugas SBK ketika
Ramala menghampiriku siang itu. “Tar, kamu dipanggil Bu Saidah,” sahutnya sambil
mengintip gambarku.
“Memang kenapa Bu Saidah manggil aku?” Aku mengalihkan pandanganku ke Ramala.
“Wah, gambarmu memang selalu keren, Tar,” kepala Ramala tiba-tiba ada di depan
mejaku. “Gak tahu, ya. Beliau tiba-tiba saja memintaku memanggilmu.”
“Bolehlah sekali-kali kamu bikinkan aku sketsa diri, Tar. Nanti aku bayar deh. Tapi
jangan mahal-mahal,” sahut Ramala lagi ketika aku mulai merapikan gambarku ke dalam laci.
“Oke. Nanti kita bicara lagi.”
Bertanya-tanya pada diriku sendiri, aku bergegas ke ruangan guru. Aku merupakan siswa
yang jarang sekali dipanggil guru. Aku tidak aktif di organisasi ataupun mempunyai prestasi
menonjol. Dipanggil Bu Saidah yang juga merupakan wali kelas kami membuatku was-was.
Bu Saidah sedang memeriksa ulangan kami ketika aku sampai di mejanya. Bayangkan
saja betapa deg-degannya aku saat ini.
“Permisi, Bu. Kata Ramala Ibu mencari saya. Ada apa ya, Bu?”
Bu Ramala mengalihkan pandangannya dari lembar ujian untuk menatapku, lalu
tersenyum. “Geser kursi itu ke depan ibu. Ada yang ibu mau bicarakan ke kamu.”
Segera aku menarik kursi dan duduk di depan Bu Saidah, menanti dengan gugup.
“Ibu punya berita baik dan berita buruk. Kamu mau dengar yang mana dulu?”
“Eng… Berita buruk, Bu?”
Bu Saidah menghela napas sejenak, “Ibu pikir kamu harus mempertimbangkan kembali
untuk masuk IPA. Ibu tidak melihat adanya kemajuan dari awal semester dua ini.”
Aku tahu pasti hal ini akan terjadi, tetapi rasa dingin tetap terasa menggigit tengkukku.
“Apa tidak bisa menunggu hingga akhir semester nanti, Bu?”
“Nilai kamu mencukupi untuk masuk IPA, tapi sekedar pas nilai minimal. Ibu tekankan
dulu ke kamu, apa kamu bener mau masuk IPA? Untuk selanjutnya selama dua tahun ke depan,
materinya akan jauh lebih sulit dari ini. Ibu seringkali lihat kamu sepertinya tidak tertarik dalam
pelajaran di kelas.”
Aku terdiam.
“Ibu minta kamu pikirkan kembali tentang penjurusan ini, ya. Berita baiknya, gambarmu
yang ibu lombakan kemarin, masuk tiga besar loh.” Senyum bu Saidah mengembang, lebar
dan sumringah. “Ibu bangga sekali murid ibu berprestasi seperti kamu. Ibu pribadi dari dulu
ingin bisa melukis, sayangnya lukisan ibu lebih banyak jeleknya daripada bagusnya,” senyum
Bu Saidah tercetak makin lebar.
Ada rasa hangat yang menjalar pelan di hatiku, namun aku menahannya. “Tapi ayah saya
lebih senang kalau saya berprestasi di eksak, Bu.”
“Pelajaran eksak memang penting, tapi tolak ukur pintarnya seseorang tidak hanya diukur
dalam pelajaran eksak, bukan? Contoh seperti ibu, ibu unggul dalam pelajaran eksak, makanya
ibu memilih jadi guru Fisika. Tapi kamu tidak bisa bilang apakah ibu lebih pintar dari Bu Niken
yang merupakan guru Akuntansi? Tidak, kami semua pintar di bidang kami masing-masing.”
“Kamu lihat presiden pertama kita, Tari? Pak Soekarno yang terkenal sebagai orator,
bukan hanya di Indonesia, tapi juga di internasional. Pidato-pidatonya dapat membakar
semangat nasionalisme para pemuda kita. Apa beliau terkenal karena nilai matematikanya yang
tinggi, bukan kan?”
“Jadi karena kamu masuk ke tiga besar, kamu diundang ke Jakarta untuk menerima
piagam. Ini surat penunjukkan kamu dari sekolah. Tolong berikan ke orang tua kamu ya.”
Aku tertegun menatap amplop yang diberikan Bu Saidah, “Akan saya sampaikan, Bu.”
***
Ayah hanya melirik sekilas amplop yang kuberikan kepadanya. Entah apa yang
dipikirkan oleh ayah, tapi walaupun sepekan sudah berlalu, aku tidak menerima kabar apapun
soal izin darinya. Ibupun sudah bertanya kepada Ayah, tapi ayah kelihatan segan menjawab.
“Bolehkah ibu bertemu ayahmu, Tari. Boleh siang ini jika beliau menjemputmu pulang
sekolah nanti,” kata Bu Saidah siang tadi ketika mengajar di kelas.
Dan di sinilah aku, berdiri tidak nyaman di sebelah ayah, yang menetap lurus ke Bu
Saidah. Bu Saidah membalasnya dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. Ramah tamah
pembuka yang sebelumnya dilontarkan Bu Saidah membuat ayah mereka-reka tujuan Bu
Saidah ingin bertemu dengannya.
“Anak Bapak berbakat dalam melukis, saya kagum padanya.”
Ayah hanya tersenyum kecil, “Terima kasih.”
“Minggu lalu kami sudah menitipkan ke Tari, surat untuk Bapak.”
“Iya, sudah saya terima.”
“Saya beserta sekolah ini akan sangat senang sekali jika Bapak bersedia mengizinkan
Tari untuk menerima piagam penghargaan, sebagaimana yang sudah disebutkan ke surat yang
sekolah kirim ke Bapak.”
Ayah kelihatan makin tegak di bangkunya, “Saya rasa Tari lebih baik fokus ke pelajaran
daripada hal seperti itu, Bu.”
“Pelajaran ya. Menurut saya, Tari sudah lumayan dalam pelajaran di kelas, Pak. Nilainilainya
mencukupi.”
“Tapi akan lebih baik lagi jika Tari fokus ke peningkatan nilainya, Bu.”
Bu Saidah terdiam sejenak, mungkin beliau bingung bagaimana menjelaskan kepada
ayah. “Begini, Pak. Tari ini saya lihat sangat menonjol kemampuan melukisnya. Menurut saya,
itu adalah suatu hal yang membanggakan. Saya rasa, kita semua, baik sekolah maupun orang
tua, wajib untuk mendukung anak dalam mengembangkan bakatnya.”
“Tapi yang membantu masa depannya adalah nilainya, Bu.”
“Sangat betul, Pak. Tapi untuk sukses tidak hanya terbatas pada akademis. Banyak hal
lain yang diperlukan. Aspek anak berkomunikasi dalam lingkungan sosialnya, juga bagaimana
pengembangan bakat anak bisa membantu meningkatkan rasa percaya pada dirinya sendiri.”
Ayah terdiam, “Baiklah, saya akan mengizinkan Tari kali ini. Saya mohon agar Ibu
mendampinginya selama di sana.”
Kalimat dari ayah membuat sesak yang sedari tadi ada di dadaku menghilang. Ingin ku
bersujud syukur saat ini.
***
Dua tahun sudah berlalu dari saat itu. Dua tahun yang penuh kerikil untuk usahaku
sampai di sini. Tahun ini aku mulai menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa baru di fakultas
seni sebuah universitas negeri bergengsi di kotaku.
Bagaimana ayahku dan ambisinya agar aku masuk ke IPA? Gagal. Akhirnya aku sadar,
aku tidak bisa memaksakan diriku untuk hal yang aku tidak minati dan merupakan
kelemahanku. Ayah sempat melakukan aksi diam-diaman denganku ketika menemukan
penjurusan IPS di rapot kelas sepuluhku. Aku mengerti sepenuhnya kalau ayah kecewa, namun
aku sadar, aku harus lebih baik lagi dalam hal yang merupakan kelebihanku.
Bu Saidah mendukungku untuk mengasah kemampuanku. Dia sering mengajakku ke
galeri-galeri seni lukis, mendaftarkan aku ke lomba-lomba melukis, serta mengenalkanku
kepada beberapa penggiat seni yang memang ahli di bidang lukis. Walau Bu Saidah tidak bagus
melukis, tapi beliau memiliki banyak relasi di bidang seni. Ketika tahu ada beberapa universitas
yang menyediakan beasiswa di bidang seni, beliau menanyakan kesediaanku untuk ikut
mendaftarkan diri. Tentu saja aku bersedia.
Aku sungguh berterima kasih pada bu Saidah, berkatnyalah aku percaya pada diriku
sendiri serta mampu mengembangkan kelebihanku. Sungguh dialah pahlawanku. Akan
kutunjukkan pada Ayahku, jalan yang ku pilih ini adalah yang terbaik bagiku.
0 Post a Comment:
Posting Komentar