PERAN HUKUM ADAT DALAM MEMPROTEKSI GURU DI DAERAH TERTINGGAL KABUPATEN ALOR NUSA TENGGARA TIMUR

 PERAN HUKUM ADAT DALAM MEMPROTEKSI GURU DI DAERAH TERTINGGAL KABUPATEN ALOR NUSA TENGGARA TIMUR.

 

Achmad Hambali,S.Pd.,Gr.

SMP Negeri Pumi,

Kecamatan Alor Timur laut, Kabupaten Alor

Provinsi Nusa Tenggara Timur

 



 

Beberapa tahun silam pemerintah telah melakukan pemerataan guru untuk ditugaskan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Mereka mengemban amanah untuk mengabdikan diri garis depan dalam bidang pendidikan, yang selanjutnya mereka dinamakan Guru Garis Depan (GGD). Program Guru Garis Depan merupakan perwujudan nawacita pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dalam bidang pendidikan. Hal ini merupakan jawaban atas tumpang tindihnya pemerataan pendidikan di Indonesia.

Faktor bentang alam yang sulit dijangkau, hingga sulitnya akses informasi dan komunikasi menjadi munculnya berbagai ragam aspek, khususnya tidak meratanya penyebaran tenaga pendidikan. Perbedaan faktor di Indonesia menjadi salah satu tidak meratanya perbedaan tersebut.

Berdasarkan amanat undang-undang bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Permasalahan tersebut dapat diminimalisir dengan penyebaran tenaga pendidik hingga ke pelosok negeri. Sejalan dengan amanat tujuan nasional, negara juga harus menjamin perlindungan profesi guru di daerah tertinggal. Supaya guru disana mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan nyaman dan maksimal. Layaknya di daerah perkotaan, guru di daerah tertinggal juga tidak sedikit yang mengalami peristiwa yang mengganggu kenyamanan kerja guru, yakni pelecehan atas profesinya dari peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Sehingga diperlukan proteksi yang dapat menjangkau perlindungan profesi guru di daerah tertinggal. Seperti kasus yang terjadi di SMP Negeri Pumi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

Kejadian itu berawal dari empat orang pemuda yang sedang mabuk dan merusak fasilitas sekolah, yakni mencoret-coret tembok sekolah, membuka ruang kelas dengan paksa hingga merusak pintunya. Tepatnya ketika tengah malam, guru yang tinggal di mes guru berada di samping sekolah mendengar suara anak muda yang sedang mengobrol yang mendobrak pintu salah satu ruang kelas. Karena sudah larut malam dan di sekolah tidak ada lampu maka diputuskan untuk tidak keluar dan memastikan apa yang sedang terjadi. Keesokan harinya, tembok sekolah penuh dengan coret-coteran, pintu ruang kelas rusak, dan terdapat bekas botol minuman keras dalam ruang kelas.

Keesokan harinya suasana sekolah menjadi hambar, karena salah satu ruang kelas sangat berantakan dan tercium aroma minuman keras yang sangat menyengat. Siswa-siswi yang mulai berdatangan dan kaget melihat ruang kelas yang berantakan serta tercium aroma yang tidak enak. Masyarakat yang lewat depan sekolah pun penasaran dan melihat situasi yang ada di sekolah waktu itu. Guru pun saling berkomunikasi dan melaporkan kejadian itu kepada komite sekolah. Komite sekolah menjembatani guru untuk menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi pada sekolah.

Komite dan salah satu ketua adat meminta agar masalah tersebut diselesaikan secara tuntas. Karena sebelumnya, sekolah sering dirusak sebagai tempat bermain para pemuda di desa. Ketua adat atau pemangku adat di daerah Alor Nusa Tenggara timur disebut Temukung. Mereka adalah orang yang dipilih oleh masyarakat sebagai pembina adat di desa.

Menanggapi peristiwa tersebut, akhirnya ketua adat dan pemangku adat lainnya memanggil pemuda yang melakukan perusakan di sekolah. Setelah diselidiki oleh dewan guru, komite sekolah, masyarakat, pemangku adat dan ketua adat. Ternyata ada sekitar 6 pemuda yang berada sekolah pada saat kejadian. Ketika pemanggilan 6 pemuda tersebut, 2 diantaranya mengintimidasi guru yang tinggal di mes sekolah saat kejadian berlangsung. Pertama, seorang pemuda langsung mendatangi guru dengan nada mengancam dan menuduh guru menulis namanya sebagai salah satu pelaku perusakan. Kedua, pemuda tersebut datang lagi dan mengancam guru dengan nada mengancam dan tatapan mata yang penuh amarah dan dendam. Ketiga, pemuda tersebut mengajak seorang pemuda lainnya ke mes guru dan menemui guru sambil membawa parang yang diikat dipinggang. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak melakukan perusakan dengan nada kasar dan sambil memegang parang yang siap keluar dari sarungnya.

Guru merasa terintimidasi dan akhirnya mengatakan bahwa kasus tersebut akan diselesaikan oleh pihak adat dengan cara aturan adat. Karena wilayah desa Pido jauh dari aparat keamanan, titik terang ditentukan setelah negosiasi antar pemangku adat, Temukung, dan komite sekolah. Tahap awal mereka mendokumentasikan seluruh kerusakan, kemudian perencanakan pemanggilan kepada pemuda yang merusak dan orang tua mereka. Jika orang tua tidak bisa hadir maka dapat diwakilkan oleh saudara lainnya. Proses mediasi dalam hukum adat di desa Pido tergolong elastis dan fleksibel. Mereka tidak langsung membawa ke ranah dan jalur hukum formal. Namun menggunakan sistem kekeluargaan dalam mencari tahu siapa pelaku dan denda yang akan dikenakan.

Hari pertemuan pun ditentukan dan orang tua mereka dipanggil ke sekolah. Orang tua diberikan informasi terkait perusakan dan intimidasi kepada guru. Sehingga ketua adat memperingatkan jika hal itu terulang kembali maka akan diberlakukan proses hukum adat. Yakni mengenakan denda sebesar kerugian yang timbul akibat perusakan yang dilakukan oleh pelaku. Jika dikemudian hari terulang lagi maka akan melakukan tindakan tegas. Jika mereka tidak mengindahkan proses hukum adat maka mereka akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Akhirnya proses mediasi berjalan dengan baik dan menyesuaikan

Guru sudah tertolong dan terlindungi dengan berjalannya hukum adat di desa ini. Guru yang berasal dari daerah lain pun sudah mulai merasa betah dengan adanya hukum yang dijunjung tinggi oleh masyarakat desa Pido, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

 

0 Post a Comment:

Posting Komentar