Pak Guru Kambing

Pak Guru Kambing

 



Ayahku bukan seseorang yang sangat hebat. Beliau hanya seorang guru, guru Sekolah Dasar. Tidak keren sama sekali. Ayah berangkat ke sekolah dengan baju yang sudah dipakainya bertahun-tahun. Tas yang disandangnya pun tidak lebih baik, tas itu didapatnya dari pelatihan yang diselenggarakan pemerintah untuk para guru. Kapan Ayahku memakai tas baru? Tunggu sampai pelatihan guru berikutnya.

Sekali waktu pernah aku ikut sebagai anak bawang, itu sebutan untuk anak kecil yang ikut masuk kelas untuk pura-pura belajar. Alih-alih siswa, yang kutemui di pagi hari adalah penjaga sekolah yang sedang mengumpulkan kotoran kambing yang kemudian diserak di pangkal pohon besar di tengah halaman.

Saat melihat kami datang beliau tergopoh-gopoh menghampiri dan menyalami Ayah, semuanya dilakukan dengan canggung dan berulang kali merendahkan kepala. Pak Guru berseragam cokelat ini kemudian menanggalkan sepatu dan menggulung celananya selutut untuk membantu menyirami teras dengan berember-ember air Aku ternganga melihat pemandangan yang tidak biasa ini.

Aku menahan napas dan menjauh sampai ke tempat yang kurasa lumayan bersih. Kuamati pohon buruk rupa itu sembari berpikir kalau pohon itu sebaiknya ditebang saja, karena yang tersisa hanyalah ranting-ranting kurus dan beberapa helai daun kering yang hanya menunggu angin lewat saja untuk jatuh ke tanah Karena letaknya di tepi sungai, sekali dalam setahun sekolah ini pasti kebanjiran saat musimnya tiba. Malam hari halamannya jadi tempat tidur kambing milik warga dan teras kelas jadi tempat bernaung para unggas. SDN No. 10, begitulah yang tertulis di papan yang menandakan bahwa bangunan ini adalah tempat menimba ilmu, bukan peternakan. Dari tempat ini pula julukan yang sangat jahat itu berasal, dalam hati aku bersumpah tidak akan mau datang ke tempat ini lagi, apalagi untuk bersekolah disini.

Tapi, hei, jangan salah paham, aku tidak membenci Bapak dan Ibu Guru, Ibu selalu bilang Pak Habibi tidak akan jadi sepintar itu kalau tidak ada guru yang mengajari. Aku hanya tidak suka Ayahku menjadi guru di sekolah kampung yang jelek, hanya itu.

Ada beberapa hal yang tidak kuberitahu pada Ayah dan Ibu, mungkin saat besar nanti aku akan tahu sesuatu seperti ini seharusnya diacuhkan saja, tapi untukku yang waktu itu bahkan belum bersekolah, mendapat julukan Anak Pak Guru Kambing itu benar-benar membuat tertekan, tidak bisa membalas mereka bahkan lebih menyesakkan lagi. Aku sendiri bingung dari mana datangnya nama itu, tapi sepertinya itu ada hubungannya dengan Ayahku, karenanya aku meminta Ayah mengajakku ke tempatnya mengajar dihari berikutnya dan pemandangan itulah yang kutemui. Sejak saat itu aku tidak bisa lagi bangga menyebutkan Ayahku seorang Guru.

Hari ini murid-murid disekolah kami akan disuntik, semua sudah tertulis di dalam surat yang kemarin kuserahkan pada Ibu. Sejak pagi aku tidak merasa takut atau gugup, namun saat beberapa orang dengan jas putih bersih datang membawa kotak perlengkapan, aku mulai menggigil, mereka dokter! Mereka akan menusukkan jarum ke lengan kami!

Maksudku, tentu dokter itu sangat keren, setiap dokter adalah idolaku. Tapi hari ini mereka datang untuk menyuntik! Aku mulai meneteskan keringat dingin dan merasa mual.

Ibu guru menyuruh kami berbaris, nama-nama kami akan dipanggil berurutan sesuai dengan absen, kalau begitu aku dapat giliran dipertengahan. Sepertinya ini tidak seseram yang kubayangkan, beberapa orang yang dipanggil diawal bahkan sudah selesai, dan mereka juga diberi pensil yang lucu.

“Lily?” Pak Dokter menyapa dengan senyum yang ramah. Aku mengangguk saja, tidak sanggup berucap apapun.

“Lily cita-citanya apa?” Tanyanya lagi, sambil menuangkan cairan yang baunya tajam ke kapas yang sewarna jasnya. Ah, Dokter ini pasti mengajakku mengobrol supaya aku tidak gugup.

“D-dokter.” Jawabku pelan sambil menoleh kekiri tempat beliau mengoleskan kapas tadi di lenganku, rasanya dingin sekali. Pak Dokter tertawa sedikit sambil menjentikkan jarum dengan ujung jarinya.

“Tidak mau jadi guru seperti Ayah?” Deg! Aku menelan ludah. Orang ini tahu Ayahku seorang guru, sekarang aku tidak lagi menyukainya. Selain jam pulang sekolah yang dipercepat, tidak ada hal baik lainnya yang terjadi hari ini.

Aku menghindari matanya dan menatap lurus kedepan. “Tidak mau.” Jawabku singkat saat kurasakan sesuatu yang sangat kecil menggigit. Ini tidak ada apa-apanya dibanding sebuah rahasia besar yang terkuak.

Dokter itu tersenyum mendengar jawabanku. “Pak Bimo itu hebat sekali, lho.” Sambungnya lagi tapi seolah tertahan, mungkin beliau sadar tidak punya cukup waktu untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya. “Sampaikan salam ke Ayahmu, ya. Dari Kambing.” Aku ternganga, sama sekali tidak mengerti apa yang maksudnya. Mengapa Pak Dokter yang keren ini menyebut dirinya Kambing? Setelah menerima pensil berwarna kuning aku masuk ke kelas, bergabung dengan teman-teman yang saling berkomentar bahwa disuntik ternyata tidak sakit. Aku mengangguk-angguk saja, masih tidak bisa mencerna dengan baik karena dibuat bingung oleh Dokter itu.

Karena jam belajar selesai lebih cepat, Ibu guru memberikan PR sebagai gantinya, setelah itu kami diperbolehkan pulang. Di kejauhan aku melihat gunung yang tidak lagi berwarna hijau melainkan abu-abu, bagian puncaknya bahkan sudah tidak tampak karena tertutup awan gelap. Berarti di hulu sungai sedang hujan deras, ayah mungkin akan pulang hujan-hujanan lagi hari ini.

Aku cukup terkejut melihat ada mobil angkutan penumpang di parkir didepan rumah. Kendaraan ini sebenarnya mobil pickup yang dimodifikasi, diberi atap dan bak belakang dipasang tempat duduk yang saling berhadap-hadapan. Ibu sepertinya baru saja selesai bicara dengan supirnya ketika aku sampai, wajahnya pucat pasi. Beliau melepas tas punggungku dan melemparnya secara sembarang ke kursi ruang tamu lalu segera mengunci pintu.

“Ayo, Lily!” Ibu membantuku naik ke mobil dan menggenggam pergelangan tanganku dengan erat, agak terlalu erat sebenarnya karena kulihat mulai membentuk lingkaran merah. Ada apa sebenarnya? Kami ini akan kemana? Aku masih belum ganti baju. Belum selesai menebak-nebak, mobil itu berhenti dan kami turun. Begitu banyak orang dipinggir sungai yang airnya sudah sangat tinggi, Ibu berlari meninggalkanku yang masih terbengong-bengong dan bersama orang-orang kampung ikut berteriak kearah sungai.

Aku menyeruak diantara kerumunan orang dewasa sampai ke bagian paling depan. Apa yang kulihat sekarang ini tidak nyata, kan? Apa yang Ayah lakukan ditengah arus sungai yang sangat deras ini? Kenapa Ayah bisa terjebak diantara pohon beringin tumbang ditengah hujan deras dengan seorang anak? Ayah seharusnya memakai pakaian hangat sekarang dan Ibu akan membuatkannya segelas kopi! Seharusnya begitu! Kenapa beliau bisa ada di posisi yang sangat tidak menguntungkan seperti ini? Salah sedikit saja mereka bisa dibawa arus sungai dan tergulung dibawah pusaran air bah berwarna coklat ini.

“Ayah!” Teriakku semampu yang kubisa. Kurasa Ayah mendengarnya, karena Ayah mendongak diantara daun-daun beringin dan tersenyum kearahku. Kurasa Ayahku ini bodoh, sangat bodoh. Apa yang membuatnya masih bisa tersenyum sementara jantungku sendiri seakan sudah tenggelam ke dasar sungai?!

Sekelompok orang dewasa datang dengan tali tambang yang cukup besar, tanpa membuang-buang waktu mereka segera melemparnya ke tengah. Setelah belasan kali mencoba, akhirnya usaha ini membuahkan hasil. Ayah menggendong anak itu di sebelah kiri dan menggulung ujung tali itu beberapa kali dari telapak tangan sampai ke siku tangan kanannya. Setelah tidak lagi terperangkap diantara dahan pohon, Ayah mulai terbawa arus deras. Masyarakat sekitar beramai-ramai menarik tali tambang ke tepian, berusaha tidak terburu-buru agar tidak menabrak batu atau benda hanyut lainnya, namun juga tidak bisa bersantai karena dikhawatirkan akan ada pohon tumbang lainnya. Namun hal itu tidak terjadi, Ayah berhasil sampai ke tepian tanpa terluka parah.

Anak yang tadi bersamanya langsung mengis meraung-raung dipelukan Ibunya. Aku tidak tahu bagaimana bisa sampai terjadi seperti itu, tapi sudahlah, ayahku selamat, sekarang aku hanya ingin mengajak mereka pulang. Si Ibu dan juga warga desa entah sudah berapa kali berterima kasih sambil membungkukkan badan. Ayah hanya mengangguk dan memintanya segera pulang karena anaknya sekarang menggigil kedinginan. Ketika Ibu yang akhirnya menanyakan hal itu, Ayah hanya menjawab, “Tidak apa-apa, kami cuma terpeleset.”

Aku dan ibu memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Kami pulang menaiki mobil yang tadi membawa aku dan ibu kesini, Ayah langsung membersihkan diri dan Ibu membuatkannya kopi. Aku mengambil tas sekolahku yang tadi diatas kursi dan langsung mengganti seragam yang agak basah.

“Ayah ada Pak Dokter menitipkan salam,” Aku segera menyampaikannya sebelum lupa, ayah sedang menyeruput kopinya di meja makan. “Katanya… dari Kambing.”

Sambungku lagi dengan ragu-ragu. Seketika Ayah tersenyum sumringah dan akhirnya tergelak, Ibu yang sedang didapur sampai menoleh dengan tatapan bingung. “Kambing…” Ujarnya seolah terkenang sesuatu. “Dia itu murid Ayah di awal mengajar dulu. Dia ke sekolah membawa kambingnya agar pulang sekolah bisa langsung merumput.” Ayah langsung bercerita tanpa diminta. “Karena dirumahnya tidak ada listrik, dia selalu mengerjakan PR dibawah pohon flamboyan yang di halaman itu dan Ayah selalu menunggunya sampai selesai. Bagi orang yang melihat, kelihatan seperti Ayah sedang mengajari dia dan kambingnya. Entah siapa yang memulai, dia kemudian dipanggil Anak Kambing dan Ayah secara otomatis mendapat sebutan Pak Guru Kambing.” Ceritanya panjang lebar. “Tapi itu hanya gurauan anak-anak tanpa maksud mencemooh, jadi kami terima saja dengan bangga.” Ayah mengakhiri ceritanya. Aku diam saja, selain aku sendiri tidak ada yang tahu apa yang kupikirkan saat itu.

“Ayah, aku mau mengerjakan PR dulu.” Ucapku sambil berdiri dan meninggalkan meja makan saat ibu kembali dengan teh melatinya. Aku mengeluarkan buku tulis dan pensil baru yang kudapat disekolah tadi.

Cita-citaku

Kalau besar nanti aku ingin jadi seorang guru yang hebat, seperti Ayah.

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar