Menebas Batas

 

Menebas Batas

 


Pagi-pagi buta aku melipat beberapa helai pakaianku dan menggulungnya. Aku mengecek lagi first aid dalam kotak, menyiapkan handuk kecil dan sabun cair, juga botol air minum yang sudah terisi penuh. Kumasukkan semua benda wajib itu ke dalam ransel kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.

Langit masih remang saat aku dan Reza memutuskan bergegas berangkat menyusuri jalan setapak dengan mengendap-endap. Suara sepatu bergerigi kami terdengar sungguh mengusik hutan yang masih lelap. Seiring dengan derap sol sepatu, dan bunyi gesekan daun, para jangkrik dan serangga seakan menemani langkah kaki kami.

Sepuluh menit kemudian, kami tiba di tanah lapang yang memantulkan warna kapur. Tanganku mendekap erat, memeluk jaket hitam yang kupakai. Udara dingin pagi itu cukup menusuk. Sementara di ufuk timur, cahaya kemerahan mulai timbul. Aku bergegas menuju helikopter yang sudah menunggu, langsung mengambil posisi di bagian kemudi. Sementara Reza di sebelahku siap memasang sabuk pengaman di perut tambunnya.

Setelah kupastikan semua siap, tanganku perlahan menghidupkan mesin. Baling-baling mulai berputar, aku semakin khawatir gaung macan terbang ini akan membangunkan seisi hutan. Tapi, risau itu lenyap setelah kaki-kakinya bertolak dari tanah. Kami meninggalkan perbatasan hutan Kalimantan pagi itu menuju tempat di mana kantung mayat yang harus kami jemput menunggu.

***

Kalian tidak akan bisa membayangkan seperti apa pekerjaanku. Bagiku, aku hanya sopir yang membawa benda besi ini terbang. Tapi, di atas kertas, pekerjaanku jauh lebih besar. Di lapangan, yang kukerjakan bertentangan. Dan aku tidak nyaman ketika orang bertanya mengenai pekerjaanku, karena artinya aku harus bersilat lidah. Itu adalah kontrakku.

“Kita langsung sisir Rinjani!” ucap Reza yang sibuk membaca papan navigasi di tangannya.

Kami hampir tiba di lokasi tujuan. Aku melirik situasi di bawah. Kacau. Tanah itu baru saja diguncang pergerakan lempengan. Reza di sebelahku tiba-tiba mendesah. Aku meliriknya. Samar, aku bisa melihat raut wajah itu. Aku tahu, baik aku maupun Reza sama-sama tidak suka kondisi ini.

Reza kembali sibuk berkomunikasi lewat radio dengan tim di bawah. Aku mengarahkan cyclic dalam genggamanku menyisir gunung yang mulai memperlihatkan runtuhan tanahnya.

“Di sana.” Reza menunjuk area terbuka. Aku bisa melihat orang-orang berpakaian oranye melambai-lambai pada kami.

Aku memutar kemudi, sejenak mencari posisi terbaik untuk meletakan moncong dan pantat macan terbang ini. Beberapa kali moncongnya terhempas dan hilang keseimbangan. Ah, ini bukan tempat yang bagus untuk mendarat, keluhku. Aku memutar lagi posisi badannya.

Aku tidak benar-benar yakin meletakan kaki macan terbang ini. Kondisinya benar-benar tidak mendukung. Bersyukur, mereka sangat memahami situasinya, lihai meloloskan kantung mayat dalam hitungan detik. Aku langsung mengangkat tubuh macan terbang ini kembali dan berputar mengendalikan angin.

Reza lagi-lagi mendesah. Namun kali ini kurasakan ada rona lega di baliknya.

“Kita langsung bawa turun. Setelah itu kita koordinasi lagi dengan tim di bawah.”

“Siap, Capt!” jawabku singkat.

Sudah empat tahun aku mengikuti Reza. Semua perintah pergerakan kami datang darinya. Tentu, di atasnya masih ada orang yang lebih tinggi. Alasan mengapa kami tidak bisa menolak ketika ditarik mundur meninggalkan pos di perbatasan.

Pertama kali aku bertemu Reza, usiaku belum genap menginjak kepala dua. Sementara Reza sudah sangat berpengalaman dalam lingkaran pekerjaan ini. Ia adalah mentor yang ditunjuk untuk menguji kelayakanku sebelum aku resmi menyelesaikan pendidikanku. Iya, Reza orang pertama yang harus kulewati sekaligus penentu kelangsungan nasibku. Dipakai atau dibuang, putusan itu di tangannya.

Aku tidak tahu bagaimana Reza memandangku. Tapi, seminggu setelah aku resmi dilantik, Reza menarikku menjadi anak buahnya. Hanya selang sebulan, dia mengirimku lagi menjalani pendidikan penerbangan di Angkatan Udara.

“Aku butuh pilot,” katanya.

Aku tidak pernah memahami apa yang diinginkan laki-laki berusia empat puluhan itu. Ia melatihku menjadi penerbang. Ia juga melatihku menjadi penyelam saat kami bertugas di Miangas―daerah perbatasan Indonesia dan Filipina. Tidak sampai di situ, ia yang mengenaliku sebagai orang yang paham betul rasanya dihajar sebelum aku mengenal cara membaca dan berhitung, menggiringku mengambil ilmu bela diri lain selain Taekwondo yang sudah sangat kukuasai.

Bagai menumpahkan kendi informasi dalam sekali teguk, tubuhku banjir oleh perintahnya. Berada di bawah komandonya aku sama sekali tidak merasa menjadi pekerja. Ia bahkan tak pernah melarangku menyalurkan ketergantunganku pada mainan digital. Kapan pun aku memiliki waktu luang, aku bisa duduk tenang tanpa gangguan bersama perangkat alat game-ku.

“Percuma jika berlian tidak diasah, ikuti saja!” Hanya kalimat itu yang terus diulangi saat aku mempertanyakan tugasku yang sesungguhnya.

***

Tiga minggu berlalu kami menjadi tim evakuasi. Sebagian besar tugasku adalah mengangkut kebutuhan logistik. Sesekali aku bertugas membantu evakuasi. Memindahkan kantung-kantung mayat, kadang membantu tim medis dengan korban luka-luka. Aku tidak punya waktu untuk jerih dengan bau mayat yang mulai membusuk ataupun bau amis dari luka yang menganga. Yang bisa kulakukan hanya membungkus mentalku baik-baik agar tak terusik. Karena semuanya akan kembali ke kondisi sediakala begitu tugasku selesai di tempat ini. Namun aku keliru.

Genap sebulan, aku kembali ditugaskan di Miangas. Aku tak punya waktu untuk sekedar pulang ke rumah menyapa ibu dan ayahku. Begitu pun Reza, ia harus puas dengan mendengar suara dua putrinya juga istrinya hanya melalui sambungan telepon. Dan di saat aku merasa semua akan kembali berjalan normal, sebuah kabar datang dari tempat lain. Lempengan itu masih ingin bergerak, dan kami harus mengikuti pergerakannya.

Aku berangkat ke Lindu hari itu. Batinku mulai jerih ketika aku harus terbang rendah melewati kawasan yang porak-poranda. Sekali lagi, aku harus membungkus mentalku, segera.

Aku pikir ia akan selamat. Nyatanya, tidak.

Untuk pertama kalinya batinku nyeri dengan ratusan mayat. Bau busuk, amis, dan lumpur. Sepanjang hidupku, kala itu pertama kalinya aku menelepon ibuku sambil terisak. Aku ingin pulang ke rumah. Aku tidak sanggup makan dengan kehadiran daging dalam piring makanku. Aku tidak mampu menelan cairan dengan sensasi manis di lidahku. Bernapas membuatku ingin muntah, berbaring membuatku merasa ditelan tanah. Untunglah, Reza mengirimku kembali ke Miangas sebelum mentalku benar-benar koyak.

***

Suasana di Miangas sungguh membantuku kembali pada diriku yang utuh. Minggu depan aku berencana kembali ke rumah dan kembali pada rutinitasku sebelumnya. Tapi, lagi-lagi, kabar bencana tiba. Sebuah pesawat hilang kontak. Ini bukan tugasku. Sungguh. Ini bukanlah tugasku. Tapi, lagi-lagi, begitu titik hilangnya ditemukan, Reza kembali melirikku.

Ah, Tuhan! Tolong aku! Nyaliku telah runtuh dengan ratusan mayat dan kondisinya, sekarang aku harus berendam dan berenang dengan mereka. Dan bukan sekedar mayat, tetapi potongan tubuh mereka. Beritahu aku cara menoleransinya. Aku gentar untuk menerima perintah itu.

“Kalau ketersediaan penyelam kurang, mau tidak mau kamu harus ikut berangkat,” Reza berbisik padaku hari itu. Aku merunduk bisu.

Di malam sebelum aku berangkat, aku sungguh-sungguh berdoa agar aku tak perlu berada di sana. Mungkin kedengarannya terlalu pecundang. Tapi, percayalah, jika kamu berada di posisiku ini, hanya jika naluri manusiawimu telah mati, kamu merasa tak terusik dengan semua itu. Berbulan-bulan berdampingan dengan mayat dalam kondisi rusak. Berhadapan dengan pilu keluarga yang menjerit. Aku manusia biasa yang dihadapkan pada kematian serupa. Mentalku sudah di ujung tanduk ketika aku tak punya jeda untuk bernapas lega.

Bahuku tiba-tiba diusap dan dicengkeram erat, “kamu tahu kenapa aku memilihmu dan membiarkanmu mengambil manfaat sebanyak ini?” ucap Reza.

Aku menggeleng lemah. Aku sama sekali tak punya ide mengenai apakah itu.

“Kamu sungguh tidak tahu mengapa aku membiarkanmu serius memainkan permainan anak-anakmu itu di saat seharusnya kamu serius melakukan pekerjaanmu di sini?”

Tidak. Aku sama sekali tidak tahu.

Reza menghela napas dalam dan melepaskan cengkeramannya dari bahuku, “dengar, anak muda!... kamu tahu berlian akan percuma kalau tidak pernah ditemukan, benar? Kamu juga tahu berlian tidak akan indah kalau bentuknya hanya bongkahan dan tidak diasah, benar?” Reza menatapku lekat. “Kamu berlian itu, nak. Aku sedang mengasahmu, bukan memecahkanmu. Jadi, katakan padaku, apa kamu mau berangkat?”

“Boleh aku menolak?” tukasku ragu.

Reza menyeringai, “kamu keras kepala.”

“Aku...”

“Aku tahu kamu sudah benar-benar muak,” potong Reza cepat. “Kita lihat besok. Yang pasti, terkadang kita hanya perlu menjadi lebih kuat ketika tekanan yang datang semakin kuat.”

Aku menelan ludah. Aku jerih sekaligus malu mendengar kalimat itu.

“Ingat! Aku tidak sedang memecahkanmu. Ingat itu! Dan... aku masih ingat saat kamu melakukan kesalahan saat menyelam dulu. Akan kuperhitungkan itu.”

Seketika, ingatan saat aku tak bisa bernapas dan merasakan berada di batas hidup dan mati mengalir mengisi memoriku. Dia melatihku dan memahamiku. Ia pun tahu batasku. Ketika ia begitu percaya padaku, mengapa aku tak mempercayainya? Aku berangkat.

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar