Kisah Kelinci Irlandia

The Tale of Irish Rabbit | Kisah Kelinci Irlandia

Mei, 2004

Peter Rabbit, sebuah dongeng yang diceritakan oleh guru kelas satu sekolah dasar itu, untuk mengajarkan murid-muridnya yang duduk tenang dan memperhatikan, agar selalu mematuhi orang tua mereka. Tak seperti Peter yang bandel, yang menyelinap dan mencuri sayuran di kebun Pak McGregor, hingga akhirnya kehilangan sepatu dan jaketnya.



Semua anak tertawa, saat guru itu mengakhiri kisah Peter dengan menggambar orang-orangan sawah baru Pak McGregor, yang memakai jaket dan sepatu milik Peter. Kemudian, dengan berisik dan antusias, mereka, anak-anak kelas satu itu, langsung menggambar orang-orangan sawah yang dicontohkan di papan tulis, saat diperintahkan guru mereka untuk mencoba menggambarnya.

"Irish?" panggil guru itu, ketika berkeliling untuk memeriksa pekerjaan murid-muridnya, dan mendapati satu anak yang tidak mematuhinya. "Kamu sudah pintar menulis, ya?"

"Irish nggak ingin seperti Peter, Ma!" seru Irish. "Irish akan mematuhi mama dan juga Mama Guru!"

"Tapi Mama Guru minta kamu buat menggambar, bukan menulis! Itu tak patuh namanya!" ujar guru itu, seraya tersenyum.

"Kalau semua menggambar, nggak ada yang menulis?" tanya Irish, dengan polosnya. "Mereka nggak akan paham gambar apa itu, Ma!"

"Kamu pengin jadi apa nanti saat sudah besar? Guru?" balas guru itu, masih tersenyum lembut. "Agar semua anak yang nggak paham jadi paham?"

"Bukan," jawab Irish. "Pengin jadi jurnalis, supaya semua orang tahu, bukan hanya anak yang tahu!"

"Jadi guru juga bisa membuat semua orang tahu, Irish!" ujar guru itu. "Coba kamu tuliskan cerita kamu di sebelah gambar Mama Guru, supaya semua anak bisa belajar membaca ceritanya lagi!"

Saat itu, Irish kecil berdiri dan mematuhi gurunya, untuk menuliskan ceritanya di papan tulis. Saat itu, Irish kecil tak tahu, percakapan singkat jurnalis-guru itu, akan mengakibatkan sebuah pertengkaran hebat.

Mei, 2016

"Kenapa hobi dijadikan masa depan?" tanya mama, dengan mata yang mulai menajam.

"Kenapa hal yang nggak disuka dijadikan masa depan?" balasku, tenang namun penuh tekanan. "Biar kakak aja yang jadi korban Mama! Kenapa aku juga harus?"

"Irish!" bentak mama, sudah sangat marah sekarang.

"Apa Mama nggak kasihan lihat Kak Uno gagal tes PNS dua tahun berturut-turut? Mama juga pengin aku kaya gitu?"

"Irish!" bentak mama lagi, lebih keras dan bangkit dengan cepat, membuatku mengerjap kaget dan sedikit takut. "Berani kamu sama Mama?"

"Mama sendiri sudah jadi Kepala Sekolah sekarang! Papa juga sudah jadi Pengawas Provinsi! Kalau Kak Uno diterima tahun ini, sudah ada tiga guru di rumah ini!" teriakku, meski sedikit takut, namun sudah tak tahan lagi. "Apa Mama juga mau bikin cucu-cicit Mama jadi guru semua? Lima puluh tahun lagi guru di negara ini bisa-bisa cuma dari keluarga kita! Nepotisme!" tambahku semakin keras.

"IRISH!"

Aku merepet, terkejut sekali, karena mama mengangkat tangannya, seakan sudah siap menamparku. Akan tetapi, itu tak terjadi. Mama mengatur napasnya yang mulai terengah karena marah. Lalu, tangannya yang tadi terangkat mengelus-elus dadanya. Napasku juga mulai tertahan, rasanya sesak sekali. Hingga akhirnya, aku tak bisa menahannya lagi, air mataku.

Sebelum air mataku mengalir lebih deras, aku ikut bangkit dari tempatku duduk, lalu berlari menuju kamarku. Kubuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya, dan menutup pintunya kembali dengan keras. Aku langsung ambruk di ranjangku, merengek keras di sana.

Di tangan kananku, sebuah buku dengan sampul bergambar daun yang berembun, berwarna hijau lembut, kugenggam erat-erat. Buku itu adalah novel pertama yang kutulis saat aku duduk di kelas dua SMA. Aku mendapat balasan penerbit sekitar delapan bulan yang lalu. Saat aku sibuk mempersiapkan ujian kelulusan SMAku, aku juga sibuk dengan editorku untuk mengedit ceritaku. Hingga akhirnya, hari ini, dua minggu setelah pengumuman kelulusanku, novel pertamaku diterbitkan. Sebenarnya, aku ingin memperlihatkannya pada mama, dan membicarakan tentang pendaftaran universitasku. Namun, dia malah menyakitiku dengan keegoisannya.

Novel itu ku lempar dengan kasar, membuat bunyi tabrakan yang keras. Aku menarik bantal dan menutupi wajahku dengannya, menangis lagi di sana.

Mei, 2018

Kursi-kursi merah sudah tertata rapi di dalam gedung auditorium kampus. Di panggung depan auditorium, telah tertempel banner dengan tulisan super besar "E-LEARNING DAN ANCAMAN TEKNOLOGI BAGI PERAN GURU DI MASA DEPAN". Di pelataran panggung, dua tripod tinggi telah didirikan, dengan kamera untuk live streaming acara talkshow tersebut.

"Kak Irish! Ayo duduk!"

Aku tersentak, mendapati Anggani, juniorku, sudah di sebelahku dan menepuk bahuku. Kursi-kursi merah itu sudah terisi sekarang, hampir tiga perempatnya. Dua pembawa acara juga sudah berada di tempat duduknya, di sisi kanan panggung. Aku mengikuti Anggani ke tempat duduk kami, di sisi lain panggung.

Hari ini, Fakultas Pendidikan mengadakan acara talkshow, dan klub di fakultasku, Report Club, dipercaya untuk mengadakan live streaming di web universitas. Beberapa saat kemudian, pembawa acara membuka acara talkshow, dan mempersilahkan tiga pembicara serta moderator untuk naik ke atas panggung. Saat mereka berjalan satu persatu untuk naik panggung, aku menatap Wisnu dan Diki yang berada di belakang masing-masing kamera. Mereka bertugas untuk mengoperasikan kamera, dan telah mengarahkannya dengan baik. Saat moderator di atas panggung memulai talkshow, Anggani sibuk menulis di sampingku. Aku tak perlu memperhatikan mereka lagi, karena mereka sudah melakukan tugas masing-masing dengan cukup baik.

Kuraih ponsel yang berada di sakuku, yang sedari tadi terus berdering, yang artinya live streaming sudah dimulai, dan yang artinya teman-teman klubku sedang berisik di grup obrolan.

"...saya yakin, semua anak di negeri ini memulai cita-cita mereka karena terinspirasi oleh ajaran guru mereka!"

Kalimat yang terdengar dari seluruh penjuru auditorium, yang dikeraskan oleh speaker membuatku mendongak. Seorang wanita paruh baya, salah satu pembicara talkshow yang mengenakan kacamata persegi, yang sedang bicara. Dari banner yang tertempel di belakangnya, aku bisa tahu beliau adalah perwakilan dari guru sekolah dasar.

"Mereka sudah menunjukan bakat mereka sejak bersekolah di sekolah dasar, dan akan nyaman untuk bereksplorasi dengan bakat tersebut." lanjut beliau. "Selain guru mereka, pihak keluarga, terutama orang tua, juga harus menunjukan bahwa bakat tersebut merupakan hal

yang terbaik untuk masa depan si anak. Jika peran guru digantikan, teknologi pasti tidak mampu menemukan bakat tersebut!"

"Tapi, jika ada orang tua atau guru yang menganggap bakat anak tersebut tidak baik, dan menjadikan anak tersebut lebih mempercayai teknologi bagaimana, Bu?" tanya moderator.

"Pada akhirnya, orang tua atau guru tersebut akan mendukung pilihan anak tersebut. Namun, sebelumnya, mereka akan berusaha terlebih dahulu untuk meyakinkan apa yang terbaik bagi si anak!"

Hatiku berdesir., mendengarnya.

"Kak Irish, masuk Jurusan Jurnalistik gara-gara siapa?" tanya Anggani tiba-tiba. "Guru atau orang tua Kakak?"

Aku terdiam sebentar. "Mereka berdua." jawabku, akhirnya.

"Wah! Asyik banget didukung banyak orang!"

"Enggak," kataku. "Mereka berdua sama-sama nggak dukung aku."

Kursi-kursi merah di dalam gedung auditorium sudah penuh sekarang. Kamera Wisnu fokus pada hadirin di kursi-kursi itu, sedangkan kamera Diki fokus di panggung. Aku menghela napas. Mungkin saja, semua orang ini adalah tanaman subur yang tumbuh di kebun Pak McGregor, bukan di kebun keluargaku. Mungkin saja, aku terlalu banyak mengambil dari kebun Pak McGregor, yang membuatku suatu saat nanti kehilangan sepatu dan jaketku.

Mama tertawa di seberang telepon.

"Kan, Mama yang bikinin Pak McGregor orang-orangan sawah itu! Nanti Mama kembalikan kalau jaket dan sepatu kamu hilang! Atau Mama belikan yang baru lagi!"

Aku ikut tertawa, lega sekali. Mama ataupun Mama Guru itu, aku sangat meyayanginya. Meski terkadang masih bertengkar karena jurnalis-guru, aku bersyukur mama dan guruku tetap mendukungku.

Desember, 2018

Lebih penting orang tua atau guru? Menurutku, lebih penting menjadikan orang tuamu sebagai guru, yang mengajarkan bagaimana caramu untuk hidup lebih baik. Dan menjadikan gurumu sebagai orang tua, yang bisa mendengarkan cerita dan impianmu.

-Aluna Irish-

0 Post a Comment:

Posting Komentar