Namaku Abdul. Aku menapaki lagi sekolah yang
bertahun-tahun lalu menampungku untuk belajar. Sekolah kecil yang penuh
kekurangan. Sekolah yang tidak bisa dibanggakan dibanding sekolah-sekolah di
kota. Sekolah yang tak pernah masuk daftar sekolah terbaik Kabupaten bahkan
sekedar urutan 20 mungkin. Tapi ada yang menarikku kembali ke sini. Ada perasaan
menggelitik yang membuatku tersenyum bersamaan dengan menetesnya air bening dari
mata. Sekolah ini punya rekaman masa dimana aku masih berupa bambu kecil yang
belum masak.
Saat itu aku baru masuk menjadi siswa kelas
satu di SMA tersebut. Aku mengenal seorang guru berbadan tinggi besar,
menakutkan, ditambah dengan kacamata tebalnya. Namanya Pak Amri. Setiap akhir
pekan, Pak Amri ditemani salah satu muridnya pergi ke kota membeli
barang-barang untuk dijual kembali. Kali ini Pak Amri memintaku untuk menemaninya.
Ia membawaku masuk ke satu diantara sekian banyak toko yang berjejer di pasar
besar itu. Sebuah toko barang antik yang sungguh menawan.
Kami membawa pulang 15 peta dunia dan kamus
kecil. Aku disuruh sekalian menjualnya di koperasi depan kelas IPS keesokan
harinya. Aku melihat dengan heran ketika barang-barang itu dijejerkan di
etalase koperasi. Kupikir yang akan dijual di sana adalah alat tulis. Barang-barang
ini tak akan laku, ucapku dalam hati. Namun pelan tapi pasti, satu demi satu
siswa kelas dua dan tiga IPS datang, memandang peta dengan mata berbinar, lalu
membeli barang itu.
“Negara pertamaku India. Di sana Nabi Adam
pertama kali diturunkan ke Bumi setelah diusir dari surga karena perbuatan
dosanya memakan buah terlarang. Aku sungguh ingin tahu dimana tepatnya,” salah
satu siswa yang membeli peta berkata pada temannya, sambil menunjuk negara
India. Aku tersentak. Saat itu aku tahu, Pak Amri bukan sedang mencari rupiah.
Pak Amri sedang memperdagangkan mimpi.
.****
Sejak menjual peta dan kamus, aku menjadi
tertarik dan selalu ingin mendekati Pak Amri. Guruku itu seorang jenius
berbakat yang diam-diam pernah menjadi guru teladan beberapa tahun sebelum
pindah ke sekolah ini. Ya, awalnya Pak Amri mengajar Ekonomi di sekolah Negeri
favorit di kota. Lalu ia memutuskan pindah ke sekolah dengan fasilitas rendah ini.
Kenapa? Aku pernah menanyakannya di kelas.
“Bapak lebih bahagia di sini. Coba lihat teman
kalian, Jonathan yang di pojok itu. Bapak tidak sabar membaca tulisannya di
media cetak sebagai wartawan terkenal suatu hari nanti.”
Seluruh kelas tertawa mengejek. Tentu saja,
karena Jo memiliki tulisan yang paling buruk di kelas. Ditambah lagi, Jo lebih
suka menggambar di bagian belakang buku tulisnya dari pada menulis.
“Atau Abbas,” ucap Pak Amri lagi. Kami semua
menoleh pada si pemalu berbadan kecil. “Bapak bisa melihat Abbas menjadi
motivator hebat di masa depan nanti.”
“AMIIIIIINNN!!!” sorak teman-teman di kelas,
lalu tertawa bersama. Ketika itu kami dengan sok dewasa hanya memaklumi ucapan
tak masuk akal Pak Amri tentang teman-teman kami. Setiap guru punya cara
menyemangati muridnya, tapi kali ini cukup menggelikan bagi kami.
Sayangnya, saat aku bertanya lagi sepulang
sekolah, akan jadi apa aku ketika besar nanti, Pak Amri hanya tersenyum dan
menjawab, “Seorang guru.”
Aku ingin cita-cita yang lebih besar. Direktur
perusahaan, anggota DPR, atau duta negara, mungkin. Aku tidak pernah ingin
menjadi guru. Itu terlalu kecil. Cita-citaku setidaknya, ingin keliling dunia.
Dan itu tidak akan bisa didapatkan dari profesi seorang guru.
****
“Abdul, kenapa akhir-akhir ini kamu terlambat
masuk kelas Bapak?” Pak Amri yang sudah menungguku di luar kelas hari itu tak
membiarkanku masuk. Wajah Pak Amri yang dari awal menyeramkan membuatku
berpaling.
“Saya sudah tidak suka Ekonomi.”
“Apa kamu masih suka uang?” tanya beliau dengan
tenang. Aku mengangkat wajah.
“Kalau kamu masih suka uang, datanglah tepat
waktu. Karena selisih detik saja, uang yang aslinya untukmu bisa jatuh ke
tangan orang lain.”
Aku tidak pernah bisa benar-benar marah pada
Pak Amri. Tapi aku terlalu muda untuk mengakui bahwa ia berhasil meluluhkanku
lagi dan lagi. Sebetulnya Pak Amri tidak salah. Hanya saja, aku masih tidak
terima masa depanku dibatasi hanya menjadi seorang guru.
“Saya tidak mau jadi guru, Pak.” Kali ini Pak Amri
terdiam cukup lama. Aku tak berani melihatnya.
“Kenapa?” tanya beliau. Aku menghela nafas.
Merasa cukup kecewa karena ia tidak bisa memahami apa yang ada di pikiranku.
“Bapak bilang, jangan merasa cukup dengan
daerah sendiri, jangan puas di negeri sendiri. Jelajahilah belahan lain dunia.
Cari pengetahuan ke tempat-tempat menakjubkan di luar sana. Bapak bisa bilang
Jo akan jadi wartawan terkenal dan Abbas jadi motivator hebat.
Tapi kenapa Bapak bilang saya akan jadi guru?”
nafasku naik turun. Baru kali itu aku berbicara penuh emosi pada guru yang
selama ini kukagumi. Satu hal yang aku sadari saat itu, bahwa betapa aku telah
menghancurkan perasaan Pak Amri.
****
Sudah 15 tahun berlalu. Selama itu aku menahan
diri untuk tidak menemui Pak Amri meski sangat ingin. Tidak mudah berdamai atas
sebuah permusuhan yang kita mulai sendiri. Hingga akhir masa SMA kala itu, aku
tidak pernah lagi sedekat dulu dengan Pak Amri.
Sekarang, aku ingin bertemu dengan beliau untuk
menyampaikan bahwa ia telah salah. Bahwa tidak semua perkataannya itu benar. Sekolah
ini cukup berubah dibanding dulu. Jumlah kelasnya ditambah. Fasilitas mulai memadai.
Tapi ada satu yang tidak berubah. Koperasi di depan kelas IPS, di depan kelasku
dulu. Aku setengah berlari menghampirinya karena tidak sabar melihat apa yang
dijual disana minggu ini. DEG! Aku seperti mengalami kembali gairah 15 tahun
lalu saat tiap awal minggu aku menebak-nebak apa yang akan diletakkan di atas etalase
ini.
Ketika aku sampai di depan koperasi, aku hanya
menemukan jejeran majalah. Hanya sebuah majalah dan alat tulis. “Mungkin alat
tulis lebih laku dijual di sini.” Suara berat yang khas itu membuatku menoleh.
Pak Amri. Rambutnya mulai memutih, tapi
badannya tetap tegap. Kacamatanya sudah tidak terlalu tebal, membuat wajahnya
tidak semenyeramkan dulu. Sekarang Pak Amri terlihat lebih... sepuh.
“Bapak berhenti menjual mimpi?” tanyaku. Pak Amri
tersenyum.
“Bukannya kamu tidak suka mimpi yang pernah Bapak
tawarkan untukmu?”
“Saya...” aku tak mampu melanjutkan. Kami
terdiam, dan aku merasa canggung.
“Oh. Saya ingin memberi tahu Bapak sesuatu.”
Aku teringat tujuanku datang ke sini.
Aku menarik nafas. “Bapak salah. Apa yang Bapak
katakan dulu salah.”
“Bagian yang mana?”
“Bapak bilang, saya harus datang tepat waktu
agar uang tidak jatuh ke tangan lain. Faktanya, saat sebuah barang yang
dibutuhkan datang terlambat, hingga terjadi kelangkaan, maka harganya jadi
lebih mahal,” aku menjelaskan teori permintaan dan penawaran dengan menggebu-gebu.
“Iya, kamu benar.” Pak Amri mengangguk. “Bapak
salah.”
“Kenapa Bapak tidak marah?” entah mengapa,
respons Pak Amri yang seperti itu justru membuatku tidak merasa puas.
“Kamu membuat Bapak senang. Bagaimana Bapak
bisa marah?”
“Saya tidak berniat begitu sama sekali.”
“Kamu bisa melebihi gurumu, itu artinya
keberhasilan bagi sang guru. Bapak senang kamu banyak belajar. Bapak bangga
sama kamu.”
Begitulah Pak Amri. Selalu menakutkan dan
membuatku menangis. Perkataan yang tak bisa ditebak, tapi selalu benar. Tanpa
menyuruhku belajar, Pak Amri selalu membuatku ingin menyainginya. Ingin lebih
pintar darinya sekaligus ingin menemukan kesalahan dari perbuatannya. Tanpa
beliau, aku tak akan menjadi seperti sekarang ini. Aku memeluk Pak Amri yang
sudah mulai renta itu. Mengajaknya masuk ke mobil kecil yang kubawa sambil bercerita
tentang kenangan di masa lalu.
Beberapa siswa menatap Pak Amri yang masuk ke
dalam mobil mewah itu. Mereka mengambil majalah di etalase dan membuka halaman tertentu,
kemudian mengangguk-angguk. Ternyata benar dugaan mereka.
“Jadi dia salah satu pembeli mimpi yang
Pak Amri ceritakan? Wajahnya sama dengan yang di dalam majalah. Guru kaya raya
yang mendirikan sekolah untuk masyarakat yang kurang mampu. Penerima penghargaan
sebagai guru paling berdedikasi, telah menjadi pembicara sebagai pakar
pendidikan di beberapa negara di Asia dan Eropa. Dan sekarang sedang
membaktikan dirinya untuk Tanah Air, Abdul Ghofur.”
“Ya, sesuai yang tertulis di majalah ini,”
sahut siswa yang lain.
“Tulisan menarik yang ditulis oleh juralis
terkenal Indonesia, Jonathan Putra. Setelah artikel favorit motivasional dari
Ahmad Abbas.”
“Mereka seangkatan, bukan?” tiga siswa itu
melenggang masuk kelas.
“Ya, satu kelas. Seperti kita. Aku akan mulai
dari Abdul Ghofur. Aku akan menjadi guru yang lebih berdedikasi dari dia.
Sepuluh tahun lagi, lima tahun lebih cepat dari beliau.” Mereka tertawa dengan
mata berbinar. Dan seperti itulah mimpi-mimpi di atas etalase laku terjual.
ooOOOoo
0 Post a Comment:
Posting Komentar