Ghandi, Pahlawan yang Dihabisi
“Ya Tuhan! Kenapa tidak ada rudal yang menyasar kepadaku???”
Pertanyaan yang sama seperti kemarin, kemarin lusa, dan kemarin-kemarin yang telah berlalu. Aku sudah sangat hafal dengan pertanyaan itu. Setiap kali ada lekadan, Boo akan mengajukan pertanyaan itu. Berulang-ulang. Terus menerus.
Gersang. Kering kerontang. Debu-debu terbang. Anjing yang berlari di kejauhan mendadak hilang dari pandangan, barangkali terkena ledakan bom atau ranjau yang sengaja ditanam di tanah yang benar-benar kering kerontang.
Boo terdengar sangat kesal dengan dirinya sendiri. Beberapa hari terakhir dia memang mudah marah oleh suasana perang yang masih terus menghantui. Teman-teman kami hangus oleh ledakan ranjau dan banyak juga dari teman-teman kami yang sengaja ditebas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Aku sudah cukup bersyukur masih tetap dapat hidup di sini bersama Boo.
“Apakah kau sudah bosan hidup, Boo?”
“Ya, aku sudah bosan. Orang-orang biadab itu pasti akan datang lagi untuk menghabisi kita seperti mereka menghabisi pahlawan anak-anak. Apakah kau masih memiliki harapan untuk hidup, Jum?”
Pertanyaan Boo menggantung di udara yang panas dan kering. Harapan? Aku selalu memiliki harapan, Boo.
***
Aku dan Boo hidup berdampingan sejak kecil. Dulu kawasan yang kami tinggali sepi dari hiruk pikuk manusia, tetapi kini di sekeliling kami dipenuhi oleh tenda-tenda, para pengungsi, orang-orang terluka, dan anak-anak yang wajah polosnya berselimut debu akibat reruntuhan bangunan. Di antara sekian banyak orang yang terlihat menyedihkan itu, ada satu orang yang memiliki karisma karena semangat dan kegigihannya yang mencolok. Dia sering dipanggil Ghandi oleh anak-anak yang dia ajari membaca dan menulis. Kupikir Ghandi adalah seseorang yang baik hati. Dia suka membantu para pengungsi, entah itu membantu
mengangkat air, membetulkan tenda yang hampir roboh, atau menggendong anak balita yang menangis karena ditinggal ibunya memasak di tenda lain.
Bagi anak-anak, Ghandi bukan hanya sekadar seseorang yang baik hati, tetapi dia adalah guru yang mengajari mereka membaca, menulis, menjahit, melipat kertas, atau keterampilan ringan yang lain. Setiap kali datang ke tempat pengungsian ini, Ghandi hampir selalu membawa tasnya yang berat dan besar. Dari dalam tas itu, dia mengeluarkan kertas dan pena yang dia bagikan kepada masing-masing anak, kemudian meminta mereka menulis sesuatu dan apabila telah selesai, setiap anak harus membaca tulisannya di hadapan teman-teman yang lain.
Beberapa orang tua merasa pesimis dengan apa yang dilakukan Ghandi untuk membuat anak-anak tetap belajar di kondisi perang, sebab orang-orang berseragam bisa datang kapan saja dan merusak tenda pengungsian mereka. Anak-anak pasti tidak akan belajar dengan tennag lagi setelahnya. Namun, Ghandi memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia selalu membujuk setiap orang tua di tenda pengungsian agar membiarkan anak-anak mereka tetap belajar. Bagi Ghandi, pendidikan bukan hanya dapat dilaksanakan di kelas atau gedung sekolah, melainkan di mana saja.
Aku mungkin merasa sangat mengenal Ghandi. Ya, memang demikian adanya. Aku sangat bersimpati dengan semua usaha yang telah dia lakukan. Terhadap para pengungsi, anak-anak korban perang, atau diriku dan Boo. Ghandi menyebut kami sebagai pohon impian karena dia sering meminta anak-anak untuk menggantungkan kertas-kertas yang ujungnya dilubangi dan diikat dengan benang pada dahan-dahan agak rendah milikku dan Boo. Kertas-kertas itu sebelumnya telah ditulisi cita-cita setiap anak. Hujan yang telah lama tidak turun di kawasan ini membuat kertas-kertas itu tidak akan mungkin basah. Cita-cita setiap anak akan tetap utuh dan awet. Tergantung-gantung, menunggu tercapai di kemudian hari.
***
Pada suatu pagi, aku dan Boo sedang menikmati udara yang sedikit dingin sambil mencoba mendengarkan baik-baik apakah masih ada ledakan-ledakan atau tidak saat Ghandi terlihat menuju ke tempat kami dari kejauhan.
“Kita masih beruntung, bisa melihat anak-anak bermain di sekitar kita untuk belajar dengan pria baik hati itu,” kataku pada Boo.
“Kau perlu tahu, Jum, aku tidak suka anak-anak. Sudahlah, anak-anak polos itu tidak punya harapan banyak untuk masa depan mereka. Bukankah begitu?”
Ghandi telah tiba di dekat kami. Dia berkeliling di antara kertas-kertas yang tergantung sambil menanti kedatangan anak-anak. Satu per satu kertas yang mulai berdebu dibacanya. Belum sampai semua kertas terbaca, beberapa anak datang berhamburan dari pintu tenda pengungsian yang terbuka. Ghandi menyambut mereka dengan senyum yang manis.
“Kalian sudah siap belajar???” tanya Ghandi penuh dengan semangat. Di hadapan anak-anak, dia memang selalu bersemangat.
“Siap!!!”
Anak-anak mulai duduk melingkar di sekitarku dan Boo. Kali ini Ghandi tidak hanya membagikan kertas dan pensil, namun juga pensil warna yang harus digunakan secara bergantian. Ghandi meminta anak-anak untuk menggambar apa saja, namun disarankan untuk menggambar cita-cita mereka di masa depan lalu memberikan keterangan pada gambar tersebut. Tentu saja anak-anak sangat antusias.
Beberapa anak bingung hendak menggambar apa. Beberapa lainnya sudah mulai menggambar, entah itu gambar senapan, gambar asap, gambar tenda, atau gambar tentara. Ghandi berkeliling di antara anak-anak untuk memastikan semuanya terlibat. Dia berhenti di samping anak yang hanya mempunyai satu kaki. Anak itu kehilangan kakinya yang lain akibat ledakan ranjau. Dengan semangat, anak itu menunjukkan pada Ghandi gambar yang telah dibuatnya. Gambar tentara.
“Kamu akan menjadi seorang tentara yang hebat suatu hari nanti,” ucap Ghandi dengan bersungguh-sungguh dan disertai senyuman.
Ghandi kembali berkeliling dan mendapati satu gambar telah digantungkan di dahanku yang paling rendah. Dia menatap gambar itu lama. “Gambar milik siapakah ini?” tanyanya kemudian kepada anak-anak. “Milik saya,” seorang anak perempuan mengacungkan tangan dengan malu-malu
“Gambar apakah ini, anak manis?”
“Itu gambar daging panggang. Saya ingin makan daging.”
“Kenapa kamu ingin makan daging?”
“Sejak perang berlangsung, saya tidak pernah lagi makan daging.”
Cita-cita yang sederhana sekali. Memang, perang mengubah segalanya. Binatang-binatang ternak hampir tidak pernah terlihat lagi. Tidak banyak orang yang masih memiliki binatang ternak di masa perang, sehingga jarang pula orang yang memakan daging.
Dengan pembawaan yang menyenangkan, Ghandi mampu mengalihkan perhatian anak-anak yang sempat merasa sedih dengan keadaan mereka sekarang. Mereka sempat merasa tidak percaya diri untuk menghadapi masa depan. Ghandi membantu anak-anak yang sudah selesai menggambar untuk menggantung gambar-gambar mereka di dahan-dahan milikku dan Boo. Dia merasa terharu oleh satu gambar yang menurutnya sangat menyentuh. Gambar orang dewasa dan anak kecil yang saling bergandengan tangan. Ada keterangan dalam gambar tersebut yang dibacakan Ghandi sambil tersenyum, “Terima kasih pahlawanku”.
***
Hari itu menjadi hari yang ingin kulupakan. Hari yang terlalu mengerikan untuk dikenang. Tepat setelah anak-anak bubar meninggalkan Ghandi, seseorang berseragam gelap datang. Mengarahkan senapan ke tubuh Ghandi. Rentetan tembakan bersarang di tubuhnya. Aku dan Boo disulut api yang cepat menjalar, membakar kehidupan kami, membakar cita-cita anak-anak, dan membakar kebaikan hati pahlawan kami. Namun, ternyata aku dan Boo tidak ditakdirkan untuk mati. Kami masih diberi nyawa meski sudah cukup mengenaskan untuk hidup. Itulah mengapa setelah kejadian itu Boo selalu ingin rudal menyasar kepadanya. Agar segala kenangan kelam itu juga akan ikut mati.
Bagiku, aku justru ingin tetap hidup. Berharap di setiap pagi menjelang, Ghandi akan datang bersama anak-anak, menggantungkan kembali cita-cita untuk masa depan. Aku berharap kejadian malam itu hanya mimpi yang salah beralamat dalam ingatanku. Aku berharap Ghandi masih tetap hidup, terus hidup, sebagai guru yang menghadirkan harapan di dalam hati anak-anak. Mengapa Ghandi dibunuh? Dibunuh karena membagikan ilmu? Dibunuh karena takut anak-anak itu tumbuh menjadi orang yang berkuasa di masa depan? Tidak masuk akal sekali. Dasar Iblis!
0 Post a Comment:
Posting Komentar