Generasi Jongkok Berdiri ‘98

 GenerasiJongkok Berdiri ‘98

 


Ada dua tipe orang di dunia ini. Pertama, kaum futuristis yang menghargai keberadaan sekolah beserta tetek bengeknya sebagai suatu wadah untuk meraih masa depan yang gemilang. Yang kedua adalah kaum konservatif yang menghargai sekolah sebagai tempat bersua dengan kawan. Umumnya, penganut aliran futuristis adalah mereka yang cerdas istimewa. Mereka menganggap guru sebagai sosok yang patut dihargai dan dihormati. Di sisi lain, penganut aliran konservatif biasanya adalah penghuni barisan belakang yang sering berontak dan menganggap guru sebagai musuh yang patut dikerjai. Sekolah hanya membawa diri, dengan wajah riang tanpa beban meski tugas seabrek. Namun, mereka inilah calon orang-orang sukses.



Di antara kedua jenis orang di dunia ini, aku adalah penganut aliran semifuturistis-konservatif. Aku sangat menghargai sekolah sebagai wadah untuk meraih masa depan yang gemilang. Di lain sisi, aku adalah penghuni barisan belakang yang siap mengerjai guru dengan sejuta keisengan. Tapi, nilaiku cukup bagus untuk bisa menjadi juara paralel. Aku punya alasan yang cukup logis mengapa aku tidak mau tunduk pada guru. Semua berawal dari sosok Sunarno, wali kelasku di SMA.

Bayangkan, bagaimana mungkin kamu bisa menghormati seorang guru yang setiap kali ditanya tentang materi pelajaran, selalu menjawab dengan satu kalimat, “Kamu kan sudah pintar, ngapain nanya?” Karena aku adalah tipe orang pembantah, lekas saja mulutku berkata, “Kalau pintar, saya gak akan sekolah, Pak. Sudah saya beli sekolahan ini.” Lagi-lagi, dia selalu menangkis perkataanku dengan menjawab, “Buktinya, kamu masih sekolah. Butuh ijazah, ya? Makanya, jangan sok-sok gak mau sekolah!”

Bagaimana mungkin kamu menghormati seorang guru yang selalu menghukummu dengan hukuman yang tidak wajar setiap kali kamu melakukan kesalahan kecil? Sunarno itu adalah tipe guru yang suka menghukum siswanya dengan hukuman angkatan militer. Agaknya, kita ini adalah calon tentara dan polisi. Untuk setiap satu kata yang kita keluarkan kepada teman di saat ia mengajar, kita harus melakukan 20 kali jongkok berdiri. Lebih parah lagi, dia tidak mau menoleransi perkataan kita yang keluar dengan tujuan apapun. Bayangkan, jika kamu memanggil temanmu karena tidak mendengar perkataan Sunarno botak itu, kamu sudah mengeluarkan minimal empat kata hanya untuk berkata, “Eh, Wan, apa tadi?” Alhasil, kamu akan mendapat hadiah 80 kali jongkok berdiri. Setiap kali kita berdalih, “Pak, saya lagi sakit. Nanti kalau saya pingsan gimana?” Dia selalu mempunyai jawaban istimewa untuk membungkam perkataan kami, “Wah, justru bagus itu! Orang sakit itu karena kurang olahraga. Biar kamu gak sakit, kamu jongkok berdiri 100 kali.”

Lebih lagi, guru botak berkacamata itu selalu memberi soal ulangan yang susah dan tidak masuk akal. Bayangkan, bagaimana mungkin dia menanyakan judul jurnal ilmiah terbaru yang memenangkan Penghargaan Nobel di saat kita menghadapi ulangan tentang Koligatif Larutan? Parahnya, jurnal ilmiah itu berhubungan dengan materi Fisika, bukan Kimia. Anak Olimpiade Fisika pun tidak tahu jawaban dari pertanyaan konyol itu. Amarahku semakin memuncak ketika dia bertemu dengan kami usai ulangan. Dia selalu memasang wajah gembira. Katanya, “Saya itu senang kalau tidak ada anak yang bisa mengerjakan soal ulangan saya.” Guru macam apa Sunarno itu? Dan betul saja, nilai 30-an menghiasi hasil ulangan kami. Nilai yang kami dapat pun cuma sebatas ongkos tulis. Sekeras-kerasnya aku belajar, tetap saja nilaiku 30, maksimal 40. Gimana gak kesal?

Hal-hal seperti inilah yang membuat aku tidak bisa menoleransi perlakuannya. Hanya karena tindakan konyol satu guru, aku hampir-hampir membenci semua guru yang mengajarku. Perbuatan baik guru lain tidak bisa menutupi kebobrokannya. Tapi di lain sisi, hal-hal seperti inilah yang terus menantang aku untuk menjadi siswa berprestasi. Ikut olimpiade sana-sini, ikut turnamen olahraga, mengumpulkan berpuluh-puluh medali. Semua kulakukan demi membuktikan kepadanya bahwa aku bisa sukses tanpa bantuan seorang guru. Aku ingin membuat mukanya merah padam ketika melihatku memenangkan perlombaan. Menurutku, itu adalah cara yang paling efektif untuk menghinanya.

Setidaknya, pandangan ini terus kuanut sampai aku lulus kuliah. Setelah kuliah, aku mencoba peruntunganku di Jakarta. Di sinilah aku bertemu dengan sejuta macam masalah. Kerja lembur, rekan bisnis yang curang, bawahan yang rewel. Aku harus menyelesaikan semua masalah itu sendiri. Aku harus belajar menghadapi keras dan pahitnya hidup. Entah mengapa, rasanya, ini adalah hal yang biasa. Aku sudah sering menemuinya di masa sekolahku. Dari sinilah aku sadar bahwa Pak Sunarno adalah guru yang berjasa mendidikku menjadi orang yang seperti sekarang. Aku sadar bahwa dia adalah guru yang sungguh memikirkan masa depan siswanya, melatih siswanya untuk berpikir kritis, dan mampu menghadapi setiap permasalahan tanpa bergantung pada orang lain. Dia jugalah yang melatihku untuk menjadi pribadi yang disiplin dalam bekerja. Aku menyesal pernah membencinya.

Tepat dua puluh lima tahun setelah kelulusanku, aku dan teman-temanku memutuskan untuk mengadakan reuni perak. Aku berinisiatif menjadi ketua panitia. Aku mengusulkan untuk membuat kaos bertuliskan “Terlatih Jongkok Berdiri Sejak 1998” dengan karikatur siswa yang sedang jongkok berdiri di hadapan guru botak berkacamata. Entah mengapa, itu adalah satu-satunya ide yang terlintas di benakku ketika kita sedang membahas kaos reuni. Tanpa pikir panjang, semua panitia setuju untuk menggunakan frasa itu. Alasannya cukup jelas, karena semua orang yang terlibat dalam kepanitiaan, bahkan semua siswa di sekolah kami, pernah dihukum oleh Pak Sunarno. Namun, kami semua juga menyadari begitu berharganya didikannya untuk masa depan kami.

Pada hari-H reuni perak angkatan 1998, kami memberikan hadiah kepada Pak Sunarno. Baju itu kami persembahkan kepadanya sebagai bentuk ucapan syukur dan penghargaan kami atas didikan beliau. Di sana, aku, selaku ketua panitia memberikan ucapan terima kasih kepada Pak Sunarno. Aku juga sempat mengaku dosa mengingat perbuatan-perbuatanku yang selalu melecehkannya sebagai seorang guru. Sambutanku aku akhiri dengan sungkem di hadapan kakinya. Aku meneteskan air mata ketika menyadari uban yang mulai menghiasi kepalanya. Waktu berlalu begitu cepat, dia, guruku telah menjadi renta. Kakinya tak lagi sanggup menahan berat badannya. Dia hanya tertawa melihat tangisanku. Tak habis pikir, dia masih bisa menabok pipiku yang basah karena air mata. “Sudah besar kok nangis, kayak bayi!” ucapnya yang membuatku tertawa kecil. Tak banyak bicara, aku segera mendorong kursi rodanya ke atas panggung dan memberikan pengeras suara kepadanya. Dari sekian banyak cara untuk mengawali sambutannya, ia memilih untuk mengawalinya dengan kalimat, “Sudah tobat? Sudah sadar, ya?” Cukup membuatku kesal, tapi hal ini benar adanya. Kami baru menyadari betapa berharganya didikannya setelah kami menghadapi hidup yang sesungguhnya. Kami semua menjawab dengan ketawa. Sebagai balasan, “Ditanya kok ketawa? Sudah berani, ya? Ayo, semua, jongkok berdiri 10 kali!” “Cuma 10 kali, Pak? Kita kan sudah terlatih jongkok berdiri sejak 1998,” celetukku. “10 kali saja, nanti reumatik. Sudah tua, kok gak ngaca!” jawabnya diselingi tawa yang membuat kami ikut tersenyum bahagia.

Di umurnya yang ke-87, Tuhan memanggil Pak Sunarno. Hatiku campur aduk. Kaget, sedih, senang. Sedih karena aku kehilangan sosok pahlawan yang telah mendidik aku mati-matian. Senang karena melihat dia terbebas dari sakit penyakit yang dideritanya.

Hidup itu bukan soal pintar pelajaran. Hidup itu bukan soal menang perlombaan. Hidup itu lebih dari sekadar pelajaran dan perlombaan. Pintar, itu bagus. Menang lomba, itu bagus. Tapi, semuanya tidak berarti kalau kamu tidak bisa bertahan di kehidupan yang sesungguhnya.

Kamu adalah anak tercerdas yang pernah saya temui. Tapi, kamu juga siswa ternakal yang pernah saya jumpai. Pertama kali melihat kamu, saya langsung tahu kalau kamu adalah siswa spesial yang membutuhkan didikan saya. Saya membawa kamu dalam doa. Saya berharap, suatu saat, Tuhan memberi kesempatan bagi saya untuk mendidikmu. Dan betul, kamu menjadi murid wali saya selama dua tahun berturut-turut. Saya senang dan semakin yakin bahwa kamu adalah titipan Tuhan bagi saya. Semakin kamu nakal, semakin saya tega memarahi kamu. Tapi, itu semua demi kebaikanmu di masa depan. Saya yakin, kamu sudah menyadarinya sekarang.

Saya meminta maaf kalau seringkali membuat kamu sakit hati, marah, jengkel, bahkan kamu capek gara-gara jongkok berdiri. Tapi, percayalah, itu semua untuk mendidik kamu. Saya berpesan sama kamu, jika kamu mempunyai anak, didiklah anakmu dengan benar. Didik dia agar dia bisa menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab sepertimu. Ini semua demi kebaikan masa depannya.

Saya bangga punya murid seperti kamu, Andika. Tetaplah jadi pribadi yang rendah hati, bertanggung jawab, disiplin, dan takut akan Tuhan. Tuhan besertamu dalam setiap langkah kehidupanmu.

Salam Jongkok Berdiri,

 

Sunarno Sosromiharjo

Segera kuusap air mata yang membasahi pipiku. Bersamaan dengan habisnya surat ini, kumantapkan diriku untuk mendirikan sekolah dan menjadi seorang guru di usiaku yang tak lagi muda. Terima kasih, Pak Sunarno. Terima kasih. Saya janji, saya akan menjadi pribadi yang bapak inginkan. Saya janji akan mendidik generasi muda Indonesia. Baktiku untuk Indonesia!

 

ooOOOoo

0 Post a Comment:

Posting Komentar