|
Ada dua tipe
orang di dunia ini. Pertama, kaum futuristis yang menghargai keberadaan sekolah
beserta tetek bengeknya sebagai suatu wadah untuk meraih masa depan yang
gemilang. Yang kedua adalah kaum konservatif yang menghargai sekolah sebagai
tempat bersua dengan kawan. Umumnya, penganut aliran futuristis adalah mereka
yang cerdas istimewa. Mereka menganggap guru sebagai sosok yang patut dihargai
dan dihormati. Di sisi lain, penganut aliran konservatif biasanya adalah
penghuni barisan belakang yang sering berontak dan menganggap guru sebagai
musuh yang patut dikerjai. Sekolah hanya membawa diri, dengan wajah riang tanpa
beban meski tugas seabrek. Namun, mereka inilah calon orang-orang sukses.
Di antara kedua
jenis orang di dunia ini, aku adalah penganut aliran
semifuturistis-konservatif. Aku sangat menghargai sekolah sebagai wadah untuk
meraih masa depan yang gemilang. Di lain sisi, aku adalah penghuni barisan
belakang yang siap mengerjai guru dengan sejuta keisengan. Tapi, nilaiku cukup
bagus untuk bisa menjadi juara paralel. Aku punya alasan yang cukup logis
mengapa aku tidak mau tunduk pada guru. Semua berawal dari sosok Sunarno, wali
kelasku di SMA.
Bayangkan,
bagaimana mungkin kamu bisa menghormati seorang guru yang setiap kali ditanya
tentang materi pelajaran, selalu menjawab dengan satu kalimat, “Kamu kan sudah
pintar, ngapain nanya?” Karena aku adalah tipe orang pembantah, lekas
saja mulutku berkata, “Kalau pintar, saya gak akan sekolah, Pak. Sudah saya
beli sekolahan ini.” Lagi-lagi, dia selalu menangkis perkataanku dengan
menjawab, “Buktinya, kamu masih sekolah. Butuh ijazah, ya? Makanya, jangan
sok-sok gak mau sekolah!”
Bagaimana
mungkin kamu menghormati seorang guru yang selalu menghukummu dengan hukuman
yang tidak wajar setiap kali kamu melakukan kesalahan kecil? Sunarno itu adalah
tipe guru yang suka menghukum siswanya dengan hukuman angkatan militer.
Agaknya, kita ini adalah calon tentara dan polisi. Untuk setiap satu kata yang
kita keluarkan kepada teman di saat ia mengajar, kita harus melakukan 20 kali
jongkok berdiri. Lebih parah lagi, dia tidak mau menoleransi perkataan kita
yang keluar dengan tujuan apapun. Bayangkan, jika kamu memanggil temanmu karena
tidak mendengar perkataan Sunarno botak itu, kamu sudah mengeluarkan minimal
empat kata hanya untuk berkata, “Eh, Wan, apa tadi?” Alhasil, kamu akan
mendapat hadiah 80 kali jongkok berdiri. Setiap kali kita berdalih, “Pak, saya
lagi sakit. Nanti kalau saya pingsan gimana?” Dia selalu mempunyai
jawaban istimewa untuk membungkam perkataan kami, “Wah, justru bagus itu! Orang
sakit itu karena kurang olahraga. Biar kamu gak sakit, kamu jongkok berdiri 100
kali.”
Lebih lagi,
guru botak berkacamata itu selalu memberi soal ulangan yang susah dan tidak
masuk akal. Bayangkan, bagaimana mungkin dia menanyakan judul jurnal ilmiah
terbaru yang memenangkan Penghargaan Nobel di saat kita menghadapi ulangan
tentang Koligatif Larutan? Parahnya, jurnal ilmiah itu berhubungan dengan
materi Fisika, bukan Kimia. Anak Olimpiade Fisika pun tidak tahu jawaban dari
pertanyaan konyol itu. Amarahku semakin memuncak ketika dia bertemu dengan kami
usai ulangan. Dia selalu memasang wajah gembira. Katanya, “Saya itu senang
kalau tidak ada anak yang bisa mengerjakan soal ulangan saya.” Guru macam apa Sunarno
itu? Dan betul saja, nilai 30-an menghiasi hasil ulangan kami. Nilai yang kami
dapat pun cuma sebatas ongkos tulis. Sekeras-kerasnya aku belajar, tetap saja
nilaiku 30, maksimal 40. Gimana gak kesal?
Hal-hal seperti
inilah yang membuat aku tidak bisa menoleransi perlakuannya. Hanya karena
tindakan konyol satu guru, aku hampir-hampir membenci semua guru yang
mengajarku. Perbuatan baik guru lain tidak bisa menutupi kebobrokannya. Tapi di
lain sisi, hal-hal seperti inilah yang terus menantang aku untuk menjadi siswa
berprestasi. Ikut olimpiade sana-sini, ikut turnamen olahraga, mengumpulkan
berpuluh-puluh medali. Semua kulakukan demi membuktikan kepadanya bahwa aku
bisa sukses tanpa bantuan seorang guru. Aku ingin membuat mukanya merah padam
ketika melihatku memenangkan perlombaan. Menurutku, itu adalah cara yang paling
efektif untuk menghinanya.
Setidaknya,
pandangan ini terus kuanut sampai aku lulus kuliah. Setelah kuliah, aku mencoba
peruntunganku di Jakarta. Di sinilah aku bertemu dengan sejuta macam masalah.
Kerja lembur, rekan bisnis yang curang, bawahan yang rewel. Aku harus
menyelesaikan semua masalah itu sendiri. Aku harus belajar menghadapi keras dan
pahitnya hidup. Entah mengapa, rasanya, ini adalah hal yang biasa. Aku sudah
sering menemuinya di masa sekolahku. Dari sinilah aku sadar bahwa Pak Sunarno
adalah guru yang berjasa mendidikku menjadi orang yang seperti sekarang. Aku
sadar bahwa dia adalah guru yang sungguh memikirkan masa depan siswanya,
melatih siswanya untuk berpikir kritis, dan mampu menghadapi setiap
permasalahan tanpa bergantung pada orang lain. Dia jugalah yang melatihku untuk
menjadi pribadi yang disiplin dalam bekerja. Aku menyesal pernah membencinya.
Tepat dua puluh
lima tahun setelah kelulusanku, aku dan teman-temanku memutuskan untuk
mengadakan reuni perak. Aku berinisiatif menjadi ketua panitia. Aku mengusulkan
untuk membuat kaos bertuliskan “Terlatih Jongkok Berdiri Sejak 1998” dengan
karikatur siswa yang sedang jongkok berdiri di hadapan guru botak berkacamata.
Entah mengapa, itu adalah satu-satunya ide yang terlintas di benakku ketika
kita sedang membahas kaos reuni. Tanpa pikir panjang, semua panitia setuju
untuk menggunakan frasa itu. Alasannya cukup jelas, karena semua orang yang
terlibat dalam kepanitiaan, bahkan semua siswa di sekolah kami, pernah dihukum
oleh Pak Sunarno. Namun, kami semua juga menyadari begitu berharganya
didikannya untuk masa depan kami.
Pada hari-H
reuni perak angkatan 1998, kami memberikan hadiah kepada Pak Sunarno. Baju itu
kami persembahkan kepadanya sebagai bentuk ucapan syukur dan penghargaan kami atas
didikan beliau. Di sana, aku, selaku ketua panitia memberikan ucapan terima
kasih kepada Pak Sunarno. Aku juga sempat mengaku dosa mengingat
perbuatan-perbuatanku yang selalu melecehkannya sebagai seorang guru.
Sambutanku aku akhiri dengan sungkem di hadapan kakinya. Aku meneteskan air
mata ketika menyadari uban yang mulai menghiasi kepalanya. Waktu berlalu begitu
cepat, dia, guruku telah menjadi renta. Kakinya tak lagi sanggup menahan berat
badannya. Dia hanya tertawa melihat tangisanku. Tak habis pikir, dia masih bisa
menabok pipiku yang basah karena air mata. “Sudah besar kok nangis, kayak
bayi!” ucapnya yang membuatku tertawa kecil. Tak banyak bicara, aku segera
mendorong kursi rodanya ke atas panggung dan memberikan pengeras suara
kepadanya. Dari sekian banyak cara untuk mengawali sambutannya, ia memilih
untuk mengawalinya dengan kalimat, “Sudah tobat? Sudah sadar, ya?” Cukup
membuatku kesal, tapi hal ini benar adanya. Kami baru menyadari betapa
berharganya didikannya setelah kami menghadapi hidup yang sesungguhnya. Kami
semua menjawab dengan ketawa. Sebagai balasan, “Ditanya kok ketawa? Sudah
berani, ya? Ayo, semua, jongkok berdiri 10 kali!” “Cuma 10 kali, Pak? Kita kan
sudah terlatih jongkok berdiri sejak 1998,” celetukku. “10 kali saja, nanti
reumatik. Sudah tua, kok gak ngaca!” jawabnya diselingi tawa yang
membuat kami ikut tersenyum bahagia.
Di umurnya yang
ke-87, Tuhan memanggil Pak Sunarno. Hatiku campur aduk. Kaget, sedih, senang.
Sedih karena aku kehilangan sosok pahlawan yang telah mendidik aku mati-matian.
Senang karena melihat dia terbebas dari sakit penyakit yang dideritanya.
Hidup itu bukan
soal pintar pelajaran. Hidup itu bukan soal menang perlombaan. Hidup itu lebih
dari sekadar pelajaran dan perlombaan. Pintar, itu bagus. Menang lomba, itu
bagus. Tapi, semuanya tidak berarti kalau kamu tidak bisa bertahan di kehidupan
yang sesungguhnya.
Kamu adalah
anak tercerdas yang pernah saya temui. Tapi, kamu juga siswa ternakal yang
pernah saya jumpai. Pertama kali melihat kamu, saya langsung tahu kalau kamu
adalah siswa spesial yang membutuhkan didikan saya. Saya membawa kamu dalam
doa. Saya berharap, suatu saat, Tuhan memberi kesempatan bagi saya untuk
mendidikmu. Dan betul, kamu menjadi murid wali saya selama dua tahun
berturut-turut. Saya senang dan semakin yakin bahwa kamu adalah titipan Tuhan
bagi saya. Semakin kamu nakal, semakin saya tega memarahi kamu. Tapi, itu semua
demi kebaikanmu di masa depan. Saya yakin, kamu sudah menyadarinya sekarang.
Saya meminta
maaf kalau seringkali membuat kamu sakit hati, marah, jengkel, bahkan kamu
capek gara-gara jongkok berdiri. Tapi, percayalah, itu semua untuk mendidik
kamu. Saya berpesan sama kamu, jika kamu mempunyai anak, didiklah anakmu dengan
benar. Didik dia agar dia bisa menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung
jawab sepertimu. Ini semua demi kebaikan masa depannya.
Saya bangga
punya murid seperti kamu, Andika. Tetaplah jadi pribadi yang rendah hati,
bertanggung jawab, disiplin, dan takut akan Tuhan. Tuhan besertamu dalam setiap
langkah kehidupanmu.
Sunarno Sosromiharjo
Segera kuusap air mata yang membasahi pipiku.
Bersamaan dengan habisnya surat ini, kumantapkan diriku untuk mendirikan
sekolah dan menjadi seorang guru di usiaku yang tak lagi muda. Terima kasih, Pak
Sunarno. Terima kasih. Saya janji, saya akan menjadi pribadi yang bapak
inginkan. Saya janji akan mendidik generasi muda Indonesia. Baktiku untuk
Indonesia!
ooOOOoo
0 Post a Comment:
Posting Komentar