|
Gemericik
tetesan air hujan di luar jendela kantor mengembalikan ingatannya pada kilas
balik sebuah kenangan manis sepuluh tahun silam. Kini gadis berambut sebahu itu
merasakan kesepian yang teramat dalam di tengah keramaian gurauan rekan
kerjanya. Begitu juga dengan hatinya yang kini merasakan kedinginan sebab
penghangat hatinya telah menghilang. Kenangan manis itu terus berputar bagai
kaset rusak. Sesekali tetesan air mata meluncur dengan bebasnya membasahi pipi
tanpa persetujuan pemiliknya. Namun, tiba-tiba sebuah tepukan di pundaknya
membuyarkan semua lamunannya.
“Lama tidak
berjumpa denganmu, Rum” ucap laki-laki di hadapannya sambil tersenyum manis
yang menampakkan kedua lesung pipi dan matanya yang tampak segaris. Nawang
Lesmana. Bagaimana dirinya tidak ingat, laki-laki di hadapannya ini adalah
bunga endelwis. Satu-satunya murid ibunya yang paling cerdas dan tampan ibarat
bunga endelwis yang langka dan menawan kata ibunya beberapa tahun silam.
“Ada keperluan
apa sehingga kamu datang ke sekolah ini, Wang?” ucap Arum langsung ke inti
permasalahan.
“Aku sedang
melakukan survei lapangan untuk melihat sekolah-sekolah yang butuh bantuan. Aku
rasa sekolah ini pantas untuk menerima alokasi dana perusahaan kami dan juga”
ucap laki-laki itu menggantungkan kalimatnya.
“Dan juga apa?”
desak Arum pada Nawang yang tak sabar mendengar kelanjutan bicaranya.
“Aku merindukan
Sri Maryanti. Boleh antarkan aku menemuinya, Arum?” dari baik matanya terpancar
dengan jelas bagaimana laki-laki di hadapannya ini sangat merindukan wanita
cantik itu dengan anggukan yang mantap Arum menyetujui permintaan Nawang.
***
Langkah kaki
pria jangkung berkumis tipis itu tergesa-gesa menuruni tangga dengan menenteng
koper merah besar di tangan kanannya. Kemeja garis-garis hitam sengaja ia biarkan
tidak terkancing sempurna pada bagian atasnya sebagai isyarat jika dirinya
tidak peduli dengan apapun yang ada. Termasuk jerit dan tangis pilu dalam rumah
limasan yang selangkah lagi ia tinggalkan.
“Jangan
pergi, Ayah! Ayah harusnya tetap di sini merawat ibu bersamaku. Jika ayah
meninggalkan kami, bagaimana nasib aku dan ibu? Kumohon jangan pergi ayah”,
ucap seorang gadis berkuncir dua menahan tangan pria itu sambil menangis yang
membuat seluruh wajahnya memerah.
“Apa tidak ada
kesempatan lagi bagiku untuk mengabdikan seluruh hidupku kepadamu? Apa sebegitu
tidak bergunanya aku hingga kamu mengingkari janjimu sendiri pada Tuhan?” ucap
seorang wanita di kursi roda dengan menatap ke arah lawan bicaranya untuk
menunggu balasan.
Pria itu tidak
menjawab sepatah kata pun. Ia tetap dengan pendiriannya untuk pergi ditemani
koper merah yang sedari tadi menjadi beban di tangan kanannya. Ia enggan peduli
dengan apapun. Bahkan menatap kedua wanita yang saat itu tepat di sampingnya
untuk sekadar mengucap selamat tinggal saja ia sudah tidak mau. Sesaat kemudian
mereka tampak seperti orang asing yang tidak mengenal satu sama lain. Meskipun
di dalam rumas limasan itu masih ada isak tangis.
***
“Ibu akan
membagikan kertas kepada kalian. Jika kalian sudah mendapatkan kertasnya,
segera tulisan cita-cita kalian menggunakan pena,” ujar seorang wanita di atas
kasur dengan lembut kepada anak didiknya.
“Arum tolong
ambilkan kertas di laci nomor 2 dan tolong bagikan ke teman-temanmu!” ucap
wanita itu kepada Arum, putrinya semata wayangnya. Arum pun langsung mengambil
kertas lalu membagikan kepada teman-temannya.
“Mengapa kita
harus menulis cita-cita? Toh, setelah lulus sekolah dasar kami akan langsung
bekerja untuk mendapatkan uang,” ucap Aji Pradana kepada wanita di depannya.
“Apakah kamu
tidak ingin menjadi menjadi petani yang hebat? Ibu dengar kamu sangat berbakat
dalam menanam sayuran dan buah. Jika kamu ingin menjadi petani, jadilah petani
yang hebat dengan tanah berhektar-hektar. Lalu kalau sudah punya tanah yang
bayak, bangunlah pabrik yang bisa mengekspor hasil sayur dan buahmu ke luar
negeri. Jangan mau jadi buruh tani dengan gaji sedikit,” jelas wanita itu
dengan tersenyum ramah yang disambut dengan gerakan pensil dari tangan muridnya
pada secarik kertas.
“Bu Sri, apakah
mungkin seorang anak tukang becak sepertiku bisa menjadi juru rawat?” ucap
gadis dengan rambut yang dikucir ekor kuda.
“Hey Gendhis,
kamu tidak tahu? Aku baca di koran seorang anak buruh cuci pun dapat menjadi
dokter. Kamu tidak usah khawatir dengan kondisi ekonomi keluargamu. Asalkan
kamu pintar orang-orang hebat akan mencarimu,” ujar Candra Bramantya yang duduk
di sampingnya. Wanita yang dipanggil Bu Sri atau lebih tepatnya Bu Sri Maryanti
pun turut tersenyum dan mengangguk menyetujui ucapan murid yang ia anggap
sebagai perwujudan bunga akasia dan bunga melatinya.
Ada alasan
khusus mengapa Candra dianggap sebagai bunga akasia dan Gendhis sebagai bunga
melati. Pohon akasia mempunyai banyak guna bagi orang yang menanamnya, seperti
Candra yang selalu memberikan semangat kepada temannya disaat temannya terpuruk
dan tidak yakin dengan pilihannya. Beda halnya dengan Gendhis, Gendhis memiliki
sifat yang sopan dan anggun yang diibaratkan seperti bunga melati.
“Aku sudah
selesai menuliskannya, Bu Sri. Apakah ini akan dibacakan?” ujar Nawang kepada
gurunya.
“Ya, itu akan
dibacakan. Ibu ingin tahu apa impian kalian semua.”
Satu per satu
berdiri untuk membacakan impiannya. Sri Maryanti dengan setia memperhatikan dan
mendengarkan dengan baik apa yang ada dalam jalan pikiran anak didiknya. Ada
yang bercita-cita menjadi juru rawat, petani, ahli membuat rumah, guru, dan
koki. Pembelajaran siang hari itu berlangsung dengan santai dengan diselingi
canda tawa.
***
Dua orang
wanita tengah bercakap-cakap di atas sebuah kasur yang lumayan besar. Mereka
sesekali tertawa disela-sela pembicaraanya. Tidak lupa wanita yang usianya
lebih muda dari wanita lain mengambil sebuah obat dan minum untuk ia suapkan ke
mulut wanita paruh baya di hadapannya.
“Apakah Ibu
sudah baikan? Aku khawatir sebab Ibu memaksakan diri untuk melatih mereka,”
ucap Arum kepada ibunya
“Ibu tidak
apa-apa. Ibu hanya ingin menjadi orang yang berguna dengan kondisi Ibu yang
seperti ini. Kondisi di mana kaki dan tangan ibu tidak bisa digerakkan. Mereka
seperti penyemangat bagi Ibu untuk bangkit dari kegelapan dan kesengsaraan.
Mereka datang untuk belajar bersama Ibu saja, Ibu sudah senang. Sekalipun tidak
banyak yang bisa Ibu lakukan dengan berbaring di atas kasur ini,” jawab Sri
Maryanti.
“Lantas mengapa
Ibu tidak meminta bayaran kepada orang tua mereka? Ibu kan butuh uang untuk
sekedar membeli kertas dan kebutuhan kita sehari-hari.”
Sri Maryanti
mengulum senyum sebelum menjawab pertanyaan anaknya. “Mendekatlah kemari, Nak!
Sekarang coba kamu bayangkan bagaimana nasib kita jika keluarga Nawang tidak
memberi tempat tinggal kepada kita setelah rumah kita disita lintah darat tempo
lalu. Lalu, mana mungkin Ibu tega meminta upah dengan keluarga yang sangat berjasa
bagi kita? Sekalipun murid Ibu tidak membayar jasa Ibu dengan uang, tetapi kita tidak boleh lupa jika tiap bulannya mereka
menyisihkan hasil panen kebun mereka untuk kita. Bukankah itu sudah lebih dari
cukup?”
“Lalu Ibu,
mengapa Ibu tidak pernah marah kepada murid ibu yang tidak pintar?”
“Ada tokoh yang
bilang kalau tidak salah namanya Kiai Hj. Maemun Zubair. Ibu ingat betul
kata-katanya. Kata beliau, jadi guru itu tidak usah punya niat bikin orang
pintar. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Kalau
kamu marah-marah ikhlasnya jadi hilang. Jadi guru itu yang penting niat
menyampaikan ilmu dan mendidik dengan baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar
atau tidak, serahkan pada Allah. Didoakan saja terus menerus supaya mendapat hidayah
untuk giat belajar,” ujar Ibunya.
Arum pun
mengerti dengan perjuangan ibunya selama ini menjadi guru. Mulai dari detik itu
Arum bertekad bulat belajar giat agar kelak menjadi guru yang mempunyai
semangat membara seperti Ibunya.
***
Beberapa tahun
kemudian, anak-anak didik Sri Maryanti menjadi orang-orang seperti dalam mimpi
yang mereka catat dalam selembar kertas berwarna biru muda. Mereka mampu
membuktikan bahwa pasti ada jalan jika kita mempunyai keyakinan dan tekad yang
kuat. Dalam upacara peristirahatan guru mereka keempat anak didiknya datang
dengan jabatan yang tinggi. Hanya satu yang tidak datang, Nawang. Ia sedang
melanjutkan pendidikan di negeri orang.
***
“Aku rindu,”
bisik Nawang sambil meletakkan sebuket bunga mawar putih di atas pusara.
Tetesan air matanya lolos begitu saja tanpa ada yang berani menghalanginya
untuk jatuh. Ia memeluk erat pusara Sri Maryanti seolah-olah wanita cantik di
hadapannya dapat merasakan kehangatan dari tubuhnya.
“Aku sudah
menepati janjiku. Aku sudah menjadi ahli pembuat rumah seperti katamu waktu
itu. Terima kasih, Bu,” ucap Nawang sembari menyeka pelan pusara bertuliskan
Sri Maryanti.
“Beliau pasti
senang melihat kamu sekarang,” kata Arum sambil menepuk-nepuk kecil bahu Nawang
secara beraturan.
Guratan warna
jingga bergradasi warna merah muda dan nila tampak menyelimuti langit di
atasnya. Sang surya pun mulai bersembunyi di tempat peristirahatnya dengan
agung. Kedua orang itu pun akhirnya meninggalkan pijakannya dari pusara Sri
Maryanti. Tanpa mereka sadari seorang wanita cantik dan anggun tersenyum kepada
mereka di samping pusaranya.
ooOOOoo
0 Post a Comment:
Posting Komentar