Ajarkan AkuMelepaskan dari Gila atau Mati
|
Aku tidak
terlalu ingat kenapa kepalaku bocor hari itu. Orang-orang di sekolah sudah
geleng-geleng kepala. Mereka anggap aku benar-benar tidak layak hidup seperti
manusia normal lagi. Mereka memberiku dua pilihan: menjadi gila, atau mati
selamanya.
Tak ada yang
bisa kulakukan. Di ruangan yang tidak terlalu besar, orang-orang duduk
berhadapan seperti berusaha memutuskan sesuatu yang krusial, atau berencana
menghabisi nyawaku. Aku tidak terlalu dengar. Dari luar, sebagai seorang anak
kecil, aku tak mengerti apa-apa. Orang tuaku duduk menunduk, kuintip dari
jendela berjaring-jaring kawat. Dia tampak kebingungan: membiarkan anaknya
gila, atau merelakannya mati.
“Mungkin bisa
kita kasih waktu tiga bulan, Pak. Memang itu bukan waktu yang lama. Tapi kami
harap, dia masih bisa bertahan,” kata Pak Amar kepada ayahku ketika keluar dari
sana.
“Iya, Pak. Kami
pun akan usahakan yang terbaik.”
Mereka
bersalaman. Ayah menghampiriku, mengajak pulang. Kata Ayah, aku punya waktu
tiga bulan lagi. Tapi aku tak pernah tahu apa yang Ayah maksud.
Di rumah, Ayah
bercerita pada Ibu. Dia hanya geleng-geleng. Ayah bilang, menurut Pak Amar, aku
tidak boleh terus-menerus diberi permen. Jadi, dia bilang, anak sepertiku harus
dibiasakan makan yang pahit-pahit juga. Sesekali makan yang pedas dan asam pun
tak apa, biar tahu rasa.
Sejak hari itu,
Ayah mengajarkanku banyak hal. Kata Ayah, gunannya supaya aku tidak gila ataumati. Aku juga disuruh makan banyak, lalu mengantarkanku ke beberapa tempat
yang, menurutku, sangat tidak menyenangkan. Beberapa kali aku mencoba kabur
dari sana tapi, yang terjadi adalah, Ayah semakin keras padaku.
“Kita hanya
punya waktu tiga bulan,” kata Ayah. Dia terlihat panik, sampai-sampai lupa
bagaimana cara membelikan permen seperti biasanya. Hampir tiap hari aku diberi
obat, katanya biar bisa bertahan dalam tiga bulan waktu tersisa. Tapi
lama-kelamaan, aku tak bisa berpikir jernih.
Hari
itu, aku yakin Ayah mencariku ke mana-mana. Dia benar-benar berpikir hidupku
hanya akan bertahan pada dua pilihan: menjadi gila, atau mati selamanya. Tapi
Ayah tak pernah benar-benar tahu cara agar aku tetap waras dan hidup seperti
manusia biasa. Nah, hari itu, aku benar-benar berhasil membuatnya gempar.
Kali ini
kubiarkan dia benar-benar sibuk. Di ruangan kecil itu, aku bersembunyi.
Langkah-langkah kaki terdengar dan mulut-mulut mereka saling bertanya. Perlu
kusampaikan, itu hari kali pertama aku tak kelihatan dan berusaha menjadi gila
dalam arti sebenarnya. Aku berpikir mereka akan memanggil polisi, pemadam
kebakaran, atau menyewa anjing pelacak. Sebenarnya, itu hal yang mubazir.
Menjelang
matahari terbenam, kewarasanku muncul. Aku menjadi manusia yang kembali
terlihat. Namun, di sanalah aku tertangkap. Untung saja, bukan Ayah yang
menangkapku. Seorang yang punggungnya sudah mulai bungkuk, menenteng tas di
tangan kanannya sambil berjalan lambat.
“Kau ini,
menyusahkan saja. Pulang sana!” Dia memerintah, keras, lalu tersenyum.
Aku rasa dia
orang yang bisa menganggapku waras atau setidaknya mewaraskanku. Kudekati dan
bertanya beberapa hal, seperti kenapa pulang terlalu lama, kenapa tempat itu
kelihatan sepi, dan sebagainya. Dia hanya menjawab seadanya dan tersenyum.
“Apa yang
membuatmu masih di sini?”
Menurutku, itu
pertanyaan pertama yang bisa membawaku pada kewarasan. Aku bisa menjawabnya
dengan waras. Lalu kukatakan padanya bahwa, Ayah menganggapku gila jika tidak
bisa menjadi waras dalam tiga bulan. Ditambah lagi dengan kabar dari Pak Amar
beberapa waktu lalu, yang mengatakan aku bisa mati jika tidak bisa tetap waras
dalam waktu tiga bulan yang mereka tetapkan. Ayah terlalu memercayai itu.
“Kau hanya
perlu menjalani hidupmu.”
Itu perkataan
gila paling waras. Mendengar perkataan itu, aku mulai berpikir kami bisa
menjadi sekelompok orang yang bisa bertahan hidup bersama. Jadi aku bertanya
bagaimana caranya hidup dengan caranya sampai berumur tua begitu, dan dia
bilang hanya perlu menjalani hidup. Dia katakan itu berkali-kali dan aku
bertanya berkali-kali juga sampai bosan. Akhirnya, aku minta dia mengajarkanku
untuk tetap waras. Lelaki tua itu yang kukenal dengan panggilan Pak Hamzah akhirnya
mempersilakanku untuk menjadi waras.
“Tapi ada
syaratnya.”
“Apa syaratnya,
Pak?”
“Kau harus
sungguh-sungguh.”
Aku mengangguk.
Keesokan
harinya, aku mulai belajar waras untuk tetap bertahan hidup. Lagi-lagi aku
berusaha kabur dari Ayah yang akhirnya memarahiku habis-habisan karena
terlambat pulang tapi akhirnya dia memaklumiku. Kata Ayah, kalau aku bisa jadi
benar-benar waras, dia akan membelikanku sepeda baru. Ketika kuceritakan kepada
siapa aku akan belajar waras, Ayah buru-buru ingin menemuinya. Dia berharap
banyak.
Dan benar!
Hanya butuh waktu dua bulan untuk menjadi manusia yang dianggap waras di tempat
itu. Pak Amar, yang hidupnya sebagai pemimpin di sana hampir tak percaya dengan
apa yang terjadi. Pak Hamzah hanya orang tua di sana, dibayar kecil untuk
memberi kewarasan yang tak terhigga. Anak-anak harus waras agar tidak dianggap
mati.
Sebenarnya, apa
yang dilakukan Pak Hamzah adalah hal sederhana. Dia hanya perlu berhasil
membuatku menjadi manusia seutuhnya. Dari sana, dia menjadikanku waras. Itu
pula yang akhirnya dia lakukan pada anak-anak lain yang terancam gila.
Di tempat itu,
bangku-bangku seringkali diduduki dengan pikiran kosong. Orang-orang menatap ke
depan dengan pemikiran, tapi mereka melupakan kewarasan. Anak-anak menghabiskan
waktu dalam kegilaan-kegilaan paksaan. Mereka dicekoki kepahitan-kepahitan,
sampai lupa manisnya masa kecil. Dan seorang pahlawan yang baik, akan
menyelamatkan mereka dari kegilaan dan kematian. Ayah, adalah orang yang
akhirnya percaya dengan hal itu.
Dua puluh tahun
berlalu, tempat itu masih kukenang. Pak Hamzah telah nyenyak dalam tidur
panjang yang tenang. Sementara, anak-anaknya terdidik menjadi pemenang.
ooOOOoo
0 Post a Comment:
Posting Komentar